Oleh : Tuangku Syeikh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani
( Mursyid Akbar Tariqah Qodiriyah Hanafiah )
Tuangku Syeikh M. Ali Hanafiah bersama Syeikh Gibriel |
Tuhan adalah Zat yang kita yakini sebagai Pencipta alam semesta yang tiada batas, Maha Menguasai segala kekuasaan, menjadi sumber segala pengetahuan, sumber intuisi yang tertinggi dan menjadi keyakinan yang mutlak untuk dimiliki setiap manusia. Namun, apakah Tuhan yang kita kenal ini, mempunyai batasan-batasan yang tertentu untuk diketahui apalagi untuk didekati? Sungguh pemikiran yang dangkal jika Allah SWT disembah hanya dalam konteks pangkat ke-Tuhanan-Nya di dunia ini. Allah, sebagai Zat yang diyakini Pencipta dan sumber daripada segala kejadian, sepantasnya untuk disembah. Akan tetapi, apakah cukup bagi kita mengenal Dia hanya semata untuk ritual penyembahan, pengagungan dan sebagai tempat pengaduan?
Tuhan tidak pernah membatasi keinginan hamba-hambaNya untuk mengenal dan mendekati Zat-Nya. Setiap saat Dia membuka diri untuk didatangi dari pintu mana saja. Ke-Tuhanan Dia di dunia ini bukan kabar pertakut untuk membuat manusia sujud menyembah-Nya, seharusnya manusia menjadikan Tuhan sebagai Zat yang akrab dengan sisi kehidupannya. Bukankah Tuhan Maha dekat (QS 50 : 16), serta kehadiran kita di dunia maya ini adalah sebagai wakil-wakil-Nya yang diberi anugrah jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan kejadian makhluk lainnya. Dan kenapa kita harus menjadikan Tuhan sebagai Zat yang tabu untuk dijangkau. Walau Tuhan adalah Zat Yang Maha Tinggi, bukan berarti manusia tidak diperbolehkan untuk mendekati dan menjangkau-Nya.
Sangat primitif jika Tuhan diletakkan hanya di mesjid-mesjid tempat-tempat pengajian, sebagai kompunen dalam ibadah tanpa ada sedikit kemauan untuk didekati dan dicintai. Ketahuilah, ibadah para nabi dan rasul bukan sekedar penyembahan belaka, namun lebih menjurus kepada bentuk keakraban hamba terhadap Tuhannya. Oleh sebab itu, benda mati yang dijadikan berhala pada masa itu, tidak sanggup menandingi kenikmatan para penyembah Allah SWT yang dapat menjalin hubungan akrab dan membuahkan keyakinan kuat yang tak gentar dengan kematian.
Ber-Tuhan adalah untuk dinikmati. Orang-orang yang ber-Tuhan seharusnya lebih tenang dan sejuk hati dan jiwanya (QS 13 : 28). Orang-orang yang mengaku ber-Tuhan semestinya merasa selalu diawasi oleh tatapan Tuhan, bahkan ia akan merasakan sekeliling diri dan lingkungannya merupakan mata-mata Tuhan yang mengawasi segala gerakan dan perbuatannya. Begitupun, orang yang mengaku dekat pada-Nya, niscaya ia selalu merasa berhadapan setiap saat dengan Tuhannya (QS 2 : 115). Percayalah, keimanan yang kuat tidak akan dimiliki sebelum kita menyaksikan Allah SWT melebihi dari kenyataan sebuah bukit yang berada di depan mata. Maka, wajarlah bukit Thur Sina hancur di depan mata Nabi Musa as, karena kenyataan Allah SWT melebihi dari kenyataan sebuah bukit di depan mata.
Tuhan adalah Zat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada makhluk ciptaan-Nya. Kecintaan-Nya melebihi dari Kesombongan-Nya, Kasih Sayang-Nya melebihi dari Amarah-Nya. Tuhan bagaikan Raja yang tinggal di setiap rumah rakyatnya. Ia mengetahui dan memahami apa yang terjadi di dalam setiap rumah rakyatnya. Dan Dia selalu dekat dan akrab dengan kehidupan rakyatnya. Raja yang bersinggasana dalam setiap rumah rakyatnya, tanpa kehilangan tahtanya sebagai raja.
Saudaraku, pandanglah Tuhan sebagai Zat yang akrab dalam kehidupanmu, sebab Dia lah yang pertama mengetahui segala keluh kesahmu, kebutuhanmu, dan segala kerahasiaanmu. Sewajarnya jika kita jadikan Tuhan sebagai Zat yang pertama untuk dikenali, didekati dan akhirnya untuk dicintai sebagai Zat yang lebih akrab di hati kita, daripada diri kita sendiri.
Allah berkata melalui kalam sirr kepada Hamba-Nya:
Wahai hamba-KU:
Tiang dari cinta adalah kerinduan,
tiang daripada kerinduan adalah keakraban,
tiang daripada keakraban adalah kedekatan,
sedangkan kedekatan bermula dari pengenalan,
dan hendaklah engkau mengenali Allah sebelum engkau mencintai-Nya.
(Menyapa Rasa Para Pencari Tuhan, Hidangan Nurani Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Rabbani Press, Jakarta 2011, hal 75)