APAKAH TASAWUF ITU?
Oleh : Prof. DR. Ahmad Rahman, MA
Syeikh Gibriel, Prof. Ahmad Rahman, Tuangku Syeikh M. Ali Hanafiah |
Semoga Dialog seputar ilmu tasawuf ini memberikan pencerahan bagi kita yang belum memahami ajaran sufi yang sebenarnya, terutama bagi para pencari ( salik ) serta bagi pembaca yang terlanjur menganggap tasawuf sufi adalah ajaran sesat dan menyesatkan, selamat mengikuti!
Tanya:
Apakah tasawuf itu?
Jawab:
Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab ‘shafaa’ yang berarti bersih, suci. Jadi, tashawwuf berarti melakukan pembersihan atau penyucian. Artinya, orang yang bertasawuf adalah orang menjaga kebersihan dan kesucian hati atau jiwanya.
Tanya:
Apa yang dimaksud dengan membersihkan atau menyucikan hati atau jiwa?
Jawab:
Membersihkan hati atau jiwa bukan saja bersih dari dosa atau penyakit-penyakit hati. Sesungguhnya yang dimaksud dengan bersih hati adalah mengosongkan hati dari rasa memiliki sesuatu dan melepaskan segala bentuk ketergantungan kecuali kepada Allah Swt. Rasa memiliki sesuatu dan ketergantungan kepada selain Allah adalah sumber segala bentuk dosa dan penyakit hati.
Tanya:
Ketergantungan hati kepada selain Allah itu seperti apa?
Jawab:
Yaitu, mengandalkan sesuatu selain Allah dalam menjalani kehidupan. Misalnya, mengandalkan harta untuk bisa hidup padahal yang menghidupkan bukanlah harta tetapi Allah. Begitu pula dengan mengandalkan pekerjaan atau jabatan sebagai sumber kehidupan. Apalagi bila mengandalkan orang lain atau makhluk yang lain. Padahal, segala sesuatu yang terjadi tidak terlepas dari ilmu, kehendak, dan kekuasaan Allah Swt.
Tanya:
Kalau begitu, bertasawuf itu berarti harus meninggalkan kehidupan dunia, tidak perlu kaya, mencari ilmu, dan lain-lan serta semata-mata mengharapkan karunia dan rahmat dari Allah Swt?
Jawab:
Bukan begitu. Langit dan bumi adalah fasilitas yang disedikan Allah untuk manusia untuk menjalankan tugasnya sebagai hamba sekaligus sebagai khalifah. Bekerja dan mencari penghidupan adalah perintah yang diwajibkan kepada setiap manusia. Manusia tidak dilarang menjadi orang kaya, pintar, berkuasa, dan lain-lain. Yang dilarang adalah memiliki “rasa memiliki” pada harta, ilmu, kekuasaan, dan lain-lain lalu mengandalkan dan bergantung kepadanya. Ketika seseorang memiliki “rasa memiliki” maka jiwanya otomatis akan bergantung padanya, padahal Allah mengajarkan laa hawla wa laa quwwata illa bi Allaah (Tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali bersama dengan Allah); Allah al-shamad (Allah tempat bergantung, [QS. Al-Ikhlas/112: 2])
Tanya:
Mengapa orang yang bertasawuf atau sufi seringkali diidentikkan dengan kefakiran, kumal, compang-camping, menyendiri, mengemis, dan hal-hal yang bersifat negatif?
Jawab:
Identitas seperti itu mungkin disebabkan karena mengambil akar kata tashawwuf dari kata shuff yang berarti wol. Dulu, orang-orang yang berusaha membersihkan hatinya identik dengan pakaian dari wol sebagai simbol kesederhanaan. Padahal, seperti telah disebutkan, membersihkan hati atau bertasawuf tidak mesti menjalani hidup seperti itu. Kalau ada orang yang melakukannya, maka itu hanyalah satu tahapan riyadhah atau latihan bagaimana melepaskan diri dari “rasa memiliki” pada sesuatu dan agar terbebas bentuk ketergantungan pada sesuatu. Latihan seperti itu dijalani seseorang bertasawuf tidak untuk selamanya. Lihatlah dalam sejarah, betapa banyak sufi yang kaya seperti Ibnu Arabi.
Tanya:
Adakah tasawuf yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Saw atau para sahabatnya?
Jawab:
Justru itulah misi diutusnya para nabi dan rasul ke bumi ini. Orang yang paling bertasawuf adalah para nabi dan rasul. Misi mereka adalah bagaimana menegakkan kalimat tauhid, laa ilaaha illa Allaah (tiada tuhan selain Allah). Kalimat tersebut tidak hanya bermakna bahwa tidak ada tuhan yang disembah selain Allah, tetapi juga berarti tidak ada yang memiliki sesuatu kecuali Allah dan tidak ada tempat bergantung kecuali kepada Allah.
Tanya:
Jika demikian, berarti bertasawuf itu sebenarnya adalah menegakkan tauhid yang murni!
Jawab:
Tepat sekali. Bertasawuf itu sebenarnya menggabungkan tiga rukun agama, yaitu berislam, beriman, dan berihsan. Hanya orang yang kosong hatinya dari rasa memiliki sesuatu dan bergantung hanya kepada Allah yang dapat disebut bertauhid. Indikatornya ada dua, yaitu senantiasa hatinya merasa disaksikan oleh Allah atau merasa menyaksikan Allah dalam menjalani kehidupannya. Indikator inilah yang dimaksud dengan ihsan sebagainya dalam hadis Nabi Saw.
Tanya:
Mengapa ada orang yang mengaku bertasawuf tetapi tidak menjalankan syariat, seperti shalat, puasa, dan lain-lain?
Jawab:
Semua orang yang bertasawuf atau sebutlah para sufi sepakat bahwa menjalani tasawuf mutlak menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai timbangannya. Apabila keluar dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak dapat disebut bertasawuf. Diriwayatkan bahwa Imam Malik r.a. pernah berkata, “Siapa yang bertasawuf tetapi tidak memahami dan menjalankan hukum Islam (tafaqquh)maka dia telah menjadi zindiq; Siapa yang ber-tafaqquh tetapi tidak bertasawuf maka dia telah menjadi fasik; Dan siapa yang bertasawuf sekaligus ber-tafaqquh maka dialah orang benar.”
Tanya:
Jika demikian, apa tujuan bertasawuf?
Jawab:
Tujuan bertasawuf adalah bagaimana menjadi hamba yang hanya mengabdi kepada Allah dan melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dengan baik. Pada diri orang yang bertasawuf akan lahir sifat-sifat terpuji atau akhlak karimah karena selalu merasa dipandang oleh Allah, sehingga segala tutur kata dan tindak lakunya senantiasa dipersembahkan untuk mencari rida Allah. Inilah yang menjadi tujuan akhir dari misi Nabi Muhammad Saw, sebagaimana sabdanya: “Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Baihaqi)
Sumber : Majelisrabbani.org
Video Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah tentang tasawuf dan tujuan bertasawuf/ bertarekat