Minggu, 21 Agustus 2016

Jika Anda Ingin Bodoh, Tontonlah Sinetron !

Perang gara - gara sinetron


PEMBODOHAN SINETRON


Tayangan sinema elektronik atau sinetron telah sukses besar dalam membodohi para penikmatnya, tidaka ada satu sinetronpun yang tayang di layar kaca yang dapat di jadikan sebagai pembelajaran bagi si penonton itu sendiri, semuanya kacau balau bak benang kusut, coba anda perhatikan mulai dari alur cerita yang tak menentu, para pemain yang hampir semuanya di bodohi oleh sutradara sehingga tampil bertingkah bodoh, konyol yang di buat-buat tanpa kecuali, serta ucapan dan perkataan yang tak mendidik.

Itulah karakter dari sinetron yang  menganggap para penontonnya adalah orang-orang bodoh dan mudah di bodohi, tidak ada pendidikan akhlak dari cerita yang di mainkan, tidak ada kebaikan yang bisa di petik. Hanya kerusakan dan pertikaian yang di timbulkan oleh keburukan sinetron tersebut, seperti yang terjadi di Bangladesh.

Ini adalah salah satu " karomah " sinetron yang mulai muncul ke permukaan, dan tak lama lagi akan mewabah di Indonesia yang akan di sebarkan oleh para maniak sinetron terutama kaum induak-induak atau kaum hawa.

kami kutip dari BBC Indonesia 20 Agustus 2016:

Percekcokan tentang sebuah drama TV populer di Bangladesh meletus menjadi tawuran yang melibatkan ratusan orang, mengakibatkan 15 orang terluka parah, kata polisi.

Penduduk desa di kota kecil Habiganj awalnya berkumpul di sebuah kedai untuk menonton sebuah sinetron fantasi Bengali buatan India berjudul Kiranmala.
Tapi kemudian dua orang berselisih pendapat tentang alur cerita, disusul oleh terjadinya pemihakan di antara hadirin. Perkelahian massal pun pecah, sebagian menggunakan pisau dan batang kayu.
Polisi sampai harus menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa.

Kiranmala, drama fiksi ilmiah tentang seorang puatri jagoan yang menyelamatkan umat manusia dari kejahatan, sangat populer di Bangladesh.
Kiranmala, drama fiksi ilmiah tentang seorang putri jagoan yang menyelamatkan umat manusia dari kejahatan, sangat populer di Bangladesh.
Perkelahian meletus di sebuah kedai di desa Dhol, 176km timur laut Dhaka.

Kepala polisi setempat Yasinul Haque mengatakan kepada BBC Shyadul Islam: "Dua orang awalnya bertengkar tentang cerita dalam episode drama ini, yang berubah menjadi tawuran. Ratusan orang menyerang satu sama lain dengan tongkat dan pisau."
"Polisi harus menembakkan sembilan peluru karet dan lima gas air mata untuk mengendalikan massa. Setidaknya 15 orang membutuhkan perawatan di rumah sakit."

Disebutkan, ratusan orang menggunakan pisau dan tongkat untuk salaing menyerang, setidaknya 10 orang terluka.

Kantor berita AFP melaporkan bahwa sedikitnya 100 orang terluka dalam tawuran itu.
Yasinul Haque mengatakan tawuran dimulai pada Rabu malam dan berlanjut sampai Kamis pagi.
Meskipun dibuat di India, Kiranmala adalah drama TV yang paling populer di Bangladesh dalam beberapa tahun terakhir.

Tahun lalu, media lokal mengaitkan peristiwa bunuh diri dua gadis remaja Bangladesh dengan drama TV ini, setelah dilaporkan bahwa orang tua mereka menolak membelikan mereka pakaian yang sejenis dengan yang dikenakan sang putri Kiranmala.


Fitnah Ibarat Bulu Yang Berterbangan, " Bisakah Kau Ambil Kembali ? "

Cerita Di Balik Fitnah

fitnah


“Kiai, maafkan saya! Maafkan saya!” Aku tersungkur-sungkur di kaki Kiai Husain. Aku memegangi dua tungkai kakinya yang kurus. Aku berusaha merendahkan kepalaku sedalam-dalamnya. Tetes-tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing pipiku. “Maafkan saya, Kiai… Maafkan saya…” Aku terus-menerus mengulangi kalimat itu.

Dua tangan Kiai Husain memegang lengan kiri dan kananku, “Bangunlah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”

“Tapi, Kiai…” Aku terus berusaha merendahkan diriku di hadapan Kiai Husain yang sedang berdiri, “Bagaimana mungkin semudah itu? Bagaimana mungkin semudah itu?”

Kali ini Kiai Husain mencengkram kedua bahuku dan berusaha mengangkat tubuhku, “Berdirilah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”

Dengan lunglai, aku berdiri. Aku terus menundukkan wajahku. “Bagaimana mungkin semudah itu, Kiai?” Aku terus mengulangi ketidakpercayaanku.

Kiai Husain tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari semua ini,” katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah apapun dari diriku.”

Aku terus menundukkan kepalaku. Aku didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa minggu belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini kujelek-jelekkan secara membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: kiai palsu lah, kiai partisan lah, kiai liberal lah—bahkan aku juga menyebarkan fitnah-fitnah keji tentangnya: Bahwa pesantrennya dibiayai cukong-cukong hitam, bahwa ia menganut aliran sesat, bahwa ia tak Ingin Islam maju, dan apapun saja yang bisa menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.

Aku mentap Kiai Husain yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di ruang bacanya. Bagaimana mungkin selama ini aku tega menghina, menjelekkan dan memfitnahnya hanya gara-gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda denganku? Padahal aku tahu hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama, waktu luangnya diisi dengan membaca al-Quran dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, dan kebaikan hatinya telah meringankan serta melapangkan banyak kesulitan orang-orang di sekelilingnya. Apalah aku ini dibandingkan kemuliaan dirinya? Siapalah aku ini dibandingkan keluhura budi pekertinya?

“Kiai, ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga nada bicaraku, tak ingin sedikitpun sekali lagi menyinggung perasaannya.

Kiai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.

Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kiai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kiai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kiai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—

“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kiai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.

“Maaf, Kiai?” Aku berusaha memperjelas maksud Kiai Husain.

Kiai Husain tertawa, seperti Kiai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Kiai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

Kiai Husain tersenyum.

“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Kiai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…

“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Kiai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.

Keesokan harinya, aku menemui Kiai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.

“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Kiai. Maafkan saya…”

Kiai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kiai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.

“Kini pulanglah…” kata Kiai Husain.

Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”

Aku terkejut mendengarkan permintaan Kiai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”

Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kiai Husain.

“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kiai Husain.

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.

Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!

Aku terus berjalan.

Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.

Hari berikutnya aku menemui Kiai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kiai Husain. “Ini, Kiai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kiai Husain.

Kiai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Aku benar-benar tak mengerti.

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Kiai Husain.

Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.

“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”

“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirullah al-adzhim… Astagfirullahal-adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.

“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kiai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirullahal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.

Kiai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… InnaLlaha tawwabur-rahiim...”

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!

“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kiai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang yang kausakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan...”

Sumber : Link

Sabtu, 13 Agustus 2016

PERJUSAMI Sangir Jujuan, Balai Janggo Solok Selatan Sambut HUT RI ke-71

Menyambut Hari Pramuka & HUTRI ke-71
perjusami sangir solok selatan, sdn o3 bidar alam

Dalam rangka menyambut Hari Pramuka yang ke-55 dan HUT RI yang ke-71 guru-guru SD sekecamatan Sangir Jujuan dan Sangir Balai Janggo menyelenggarakan Perkemahan Jum'at Sabtu Minggu ( PERJUSAMI ) yang pada penyelenggaraan perdana kali ini memilih tempat di Nagari Padang Limau Sundai Kec. Sangir Jujuan.

Acara bumi perkemahan yang juga diikuti oleh utusan dari PAUD Sangir jujuan diikuti oleh seluruh SD dari Kecamatan Sangir Jujuan dan Gugus I, II, dan III Sangir Balai Janggo.

PERJUSAMI di buka secara resmi oleh KA UPTD Sangir Jujuan Bapak Mardison S.Pd. pelaksanaan PERJUSAMI berlangsung muali dari tanggal 12, 13, 14 Agustus 2016.
Karena perkemahaan saat ini adalah yang pertama sehingga suasana terasa sangat gembira sekali, keceriaan para adek-adek pramuka sangat terasa apalagi saat acara lomba PBB, Pionering, bermacam lomba keagamaan, CC dan lain-lain.

Acara puncak pada Sabtu malam yaitu api unggun yang berlangsung dengan khidmat dan semarak di hadiri oleh ribuan masyarakat sekitar.

semoga PERJUSAMI " Sangir bersaudara " ini terus dilaksanakan secara rutin setiap tahun, dan untuk tahun depan insyaallah akan diikuti oleh sangir Batang Hari akan dilaksanakan di Sangir balai Janggo

Foto-foto PERJUSAMI di Padang Limau Sundai:


perjusami sangir jujuan


perjusami sangir solok selatan




Full Day School - Tuntutan Rakyat Jika Sekolah Seharian Penuh Diberlakukan

Sembilan Tuntutan Kepada Menteri Pendidikan RI

full day school

Saya setuju wacana penerapan FULL DAY SCHOOL oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru yang bernama Prof. Dr. Muhadjir Effendy, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, asalkan harus memenuhi beberapa syarat berikut :

1. Muatan struktur Kurikulum harus dirubah total, penambahan Jam Pelajaran Pendidikan Agama yang semula 2 jam per minggu harus menjadi lebih banyak lagi.
Jika tidak dirubah kondisi pembelajaran akan timpang karena jumlah harinya tetap, jam pelajaran bertambah, tetapi muatannya tetap.

2. Untuk mengisi Mapel Pendidikan Agama, mohon melibatkan Guru TPQ dan Guru MDA, Agar TPQ dan MDA tidak gulung tikar.
Juga agar tidak menambah beban mengajar Guru Kelas SD atau Guru Mapel SMP/SMA selain Guru Agama.

3. Kemendikbud harus menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas sekolah yang nyaman, sekurang-kurangnya 1 kelas 1 pendingin ruangan ( AC ) untuk seluruh sekolah di Indonesia.

4. Kemendikbud harus menambah anggaran makan siang untuk siswa dan guru, seperti di Sekolah Swasta Full Day yang ada biaya khusus untuk makan siangnya.

5. BOS itu kepanjangannya Bantuan Operasional Sekolah bukan Bantuan Operasional Siswa. Pengalaman mengelola Beasiswa untuk Siswa Miskin ketika dana ditransfer langsung ke siswa dan diambil langsung orang tuanya, dana itu malah dipakai orang tua untuk keperluan selain keperluan sekolah.
Jadi dalam Dana BOS itu bukan hanya untuk siswa melainkan juga semua unsur yang ada di Sekolah tersebut.

6. Perbanyak muatan kurikulum untuk pembelajaran diluar ruangan seperti study lapangan mengunjungi museum, planetarium, dan lainnya dengan subsidi dana dari Kemendikbud.

7. Sediakan tempat Crisis Center di tiap sekolah untuk memfasilitasi siswa dan atau guru yang jenuh dan stress kebanyakan materi pelajaran sekolah.

8. Sediakan tempat bermain yang kompleks di semua sekolah di seluruh Indonesia, agar siswa tidak kehilangan waktu bermainnya.

9. Pemberian Insentif tambahan untuk semua guru baik guru PNS bersertifikasi, guru PNS belum sertifikasi, guru CPNS, guru tetap yayasan, guru sertifikasi non PNS, guru honorer, sejalan dengan beban tambahan jam mengajarnya.

Demikian sembilan syarat yang harus dipenuhi oleh anda Bapak Professor Muhadjir Effendy. Jika tidak bisa dipenuhi terutama syarat nomor 1 dan 2 di atas, anda bisa didemo oleh Ormas berlambang bola dunia dengan SEMBILAN BINTANG mengelilinginya.

Kecuali bila Penerapan FULL DAY SCHOOL di Sekolah Formal benar-benar Full satu hari penuh bukan cuma pagi sampai sore saja, melainkan pagi, siang, sore, malam, sehingga siswa terkontrol penuh seperti Pendidikan di Pondok Pesantren.
( Imron Rosyadi )

Ngaji Tasawuf Mimpi Dalam Bermimpi - Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah

Mimpi Dalam bermimpi

Suatu ketika Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah bercerita kepada murid-muridnya,
"Disuatu hari aku menyaksikan didepan kedua mataku peristiwa yg sangat menyedihkan yang mustahil aku lupakan seumur hidupku, hingga aku berdo'a kepada Allah untuk dapat melupakannya karena akan menjadi bayangan kesedihan selama hidupku, dan baru saja do'aku selesai, Allah berkata kepadaku" Bangunlah hambaKu !!" Aku kaget dan terbangun lalu kusadar aku hanya bermimpi, tentunya peristiwa tersebut hanya sebuah mimpi belaka yang kusangka suatu kenyataan, belum habis kagetku, Allah berkata lagi " jika engkau ingin peristiwa tersebut lebih tak berbekas bagimu samasekali maka bangunlah lagi !!" Akhirnya aku benar-benar tersadar dari tidurku, kiranya bangunku yang pertama masih mimpi, dan sekarang aku benar-benar telah bangun dan sadar dari tidurku dengan perasaan "

Begitu Luas dan Maha besarnya Allah. Kita selalu mengatakan begitu sulit bagi diri kita menerima sesuatu yang pahit atau yang menyedihkan datang dihadapan kita bahkan kita sudah men"vonis" betapa sulit melupakannya. Padahal kita semua berada didalam suatu mimpi yang kelak kita akan bangun dan tersadar hingga segala sesuatu yang kita sedihkan dan menyakitkan tersebut sama sekali tidak berasa lagi sedikitpun, karna hanya mimpi ! Mimpi dalam bermimpi dan cukuplah Allah menjadi kenyataan yang benar-benar nyata.

Bagi Allah mudah untuk melupakanmu dari segala sesuatu yang engkau rasa menyakitkan, maka bangunlah dan sadarlah !
Qodiriyah Hanafiah )

Soal Pendidikan Muhammadiyah Paling Unggul, Benarkah ?

Euforia Jamaah Muhammadiyah


muhammadiyah paling unggul


Kalau benar kata-kata ini keluar dari lisan seorang kader Muhammadiyah yang menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sekarang ini yaitu Prof. Dr. H. MUHADJIR EFFENDY, M.AP, saya meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera me-RESHUFFLE Menteri yang satu ini. Saya warga Nahdliyin kenal banyak sahabat-sahabat Muhammadiyah dari berbagai latar pendidikan mulai dari terendah sampai bergelar Professor sekalipun.

Diantara mereka banyak sekali kader Muhammadiyah yang baik dan punya rasionalitas berpikir yang cerdas berskala luas, tidak hanya sempit terkungkung pada idealisme pribadi, kelompok, maupun golongan.

Saya pikir "Nada Sesumbar" seperti ini TIDAK PERLU diucapkan dalam kapasitas dirinya sebagai MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA.

Bahwa mengurusi Pendidikan di Indonesia bukan hanya untuk Warga NU saja, bukan hanya untuk warga Muhammadiyah saja, dan bukan hanya untuk warga Al Irsyad saja , tetapi KOMPLEKS ketika masuk di Sekolah Formal Negeri baik itu SD Negeri, SMP Negeri, SMA/SMK Negeri yang masuk di dalamnya itu ada yang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Jika Professor Muhadjir Effendy memang berbicara demikian, nyatanya dalam Olimpiade Sains Nasional ( OSN) Tahun 2016 bulan Mei kemarin di Palembang, Sumatera Selatan, dari ratusan siswa peraih Medali Emas, Perak, dan Perunggu berbagai cabang OSN, saya amati satu per satu TIDAK ADA SATUPUN siswa yang berasal dari Sekolah Muhammadiyah maupun juga dari Sekolah NU.

Bahkan justru kebanyakan dari Sekolah-sekolah Non Muslim seperti SMA Kristen dan SMA Katholik, lainnya SMA Negeri dan SMA Islam berbasis umum selain Muhammadiyah dan NU.
Kalau demikian apa anda juga akan mengatakan bahwa SMA-SMA Non Muslim yang sarat prestasi tersebut memang SMA Non Muslim PALING UNGGUL dalam bidang Pendidikan ?
Ayolah, dalam hal PENDIDIKAN DI INDONESIA kita tidak boleh mengedepankan egoisme pribadi, kelompok, maupun golongan.

Kalau saja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era 2009-2014 Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA, yang merupakan kader Nahdliyin, nalar berpikir sempit mungkin beliau juga akan MENERAPKAN Sistem Pembelajaran di Sekolah Formal diubah dengan konsep ALL DAY SCHOOL seperti pola pendidikan Pondok Pesantren di dalamnya.

Tetapi beliau tidak demikian, karena urusan Pendidikan adalah urusan BANGSA dan NEGARA yang di dalamnya bukan hanya warga kelompok tertentu saja.
( By: Imron Rosyadi )