AKIDAH ASWAJA DAN HTI, SAMAKAH?
Sekitar bulan Pebruari yang lalu, saya kedatangan tamu beberapa ikhwan HTI, yang dua orang memiliki keilmuan yang bagus dan satu almamater dengan saya. Sebelum datang ke rumah saya, mereka telah berkomunikasi melalui telepon beberapa hari sebelumnya prihal akan kedatangan mereka ke rumah saya. Saya tidak berpikir bahwa mereka kader HTI dan satu almamater dengan saya. Memang salah satu dari teman sealmamater dengan saya tersebut, saya kenal lama, bahkan sejak beberapa tahun yang lalu dalam sebuah acara MWC NU di daerah Malang bagian selatan dekat Kabupaten Lumajang.
Setelah pembicaraan basa-basi selesai antara kami, Ustadz HTI yang satu almamater dan bahkan kabarnya pernah mengenyam pendidikan di Yaman di lembaganya Habib Salim al-Syathiri, beliau segera mengutarakan tujuan kedatangannya ke rumah saya. Singkat cerita, menurutnya antara Ahlussunnah Wal-Jamaah tidak ada bedanya dengan HTI dalam akidah. Simpelnya, dialog kami kurang lebihnya sebagai berikut:
HTI: Tidak ada perbedaan antara akidah Ahlussunnah Wal-Jamaah dengan HTI.
SAYA: Jelas sekali perbedaannya. Menurut HTI, seperi dijelaskan oleh pendirinya, Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani, perbuatan manusia yang disengaja (al-af’al al-khtiyariyyah), tidak ada hubungannya dengan ketentuan Allah, dan ketentuan Allah juga tidak ada hubungan dengannya. Pernyataan ini jelas sekali berbeda dengan keyakinan mayoritas umat Islam, yaitu Ahlussunnah Wal-Jamaah, bahwa semua perbuatan manusia yang disengaja dan tidak disengaja, adalah ciptaan dan ketentuan Allah. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir mengikuti manhaj Mu’tazilah, Syiah Imamiyah dan Zaidiyah.
HTI: Dalam keyakinan kami, perbuatan manusia yang disengaja, memang tidak ada hubungannya dengan ketentuan Allah. Tetapi kami berpendapat bahwa Allah telah menciptakan khashiyah (keistimewaan khusus, atau semacam kemampuan) pada seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi kemampuan berbuat pada manusia itu juga ciptaan Allah.
SAYA: Justru dengan pendapat tersebut berarti HTI berbeda dengan Ahlussunnah Wal-Jamaah. Dalam kitab-kitab akidah dijelaskan:
ومن يقل بالقوة المودعة ## فذاك بدعي فلا تلتفت
Orang yang berpendapat bahwa pengaruh sesuatu itu sebab ada kekuatan yang diciptakan oleh Allah di dalamnya, maka ia adalah ahli bid’ah (yang sesat) dan tidak boleh ditoleh (diperhitungkan).
Dengan demikian, alasan yang Anda kemukakan justru menunjukkan bahwa HTI memang berbeda dengan Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Kemudian dalam kesempatan itu saya menjelaskan, bahwa dengan keyakinan bahwa pengaruh sesuatu atau perbuatan manusia disebabkan kekuatan yang diciptakan oleh Allah di dalamnya, HTI divonis sebagai ahli bid’ah yang sesat dan hukumnya dosa besar. Tetapi para ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah tidak sampai mengkafirkan HTI, seperti halnya Mu’tazilah.
Dalam ilmu akidah, golongan Qadariyah itu ada dua golongan:
Pertama, Qadariyah pertama yang ghulat (ekstrem), yang berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan dan ketentuan manusia itu sendiri. Tuhan tidak terlibat dalam perbuatan tersebut. Tuhan baru mengetahui perbuatan tersebut setelah terjadi dan dilakukan. Kelompok ini telah dikafirkan oleh para ulama, karena berarti menisbatkan kebodohan kepada Allah.
Kedua, Qadariyah kedua, yaitu golongan Mu’tazilah, Syiah Imamiyah, Zaidiyah dan HTI. Menurut mereka, perbuatan manusia yang disengaja adalah ciptaan dan ketentuan manusia, bukan ciptaan dan ketentuan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan telah mengetahui apa yang akan mereka lakukan, sebelum mereka diciptakan atau sejak azali (tanpa permulaan). Oleh karena, golongan ini beranggapan bahwa Tuhan telah mengetauhi apa yang akan mereka lakukan sejak mereka belum diciptakan, mereka tidak dikafirkan oleh mayoritas umat Islam.
Imam al-Syafi’i mengatakan, golongan Mu’tazilah dan pengikutnya, dalam hal ketidakpercayaannya kepada ketentuan Allah terhadap perbuatan mereka yang disengaja, sangat mudah dipatahkan dengan keyakinan mereka sendiri yang mengatakan bahwa Allah mengetahui perbuatan mereka sebelum mereka diciptakan. Misalnya kita bertanya kepada HTI, benarkah perbuatan manusia yang disengaja atau yang dikuasai adalah ciptaan dan ketentuan manusia, bukan ciptaan dan ketentuan Tuhan? Ia akan menjawab, benar.
Lalu HTI ditanya lagi, apakah Tuhan telah mengetahui perbuatan mereka, sebelum mereka diciptakan? Kalau HTI menjawab, Tuhan tidak tahu, berarti mereka menisbatkan kebodohan kepada Allah, dan hukumnya kufur. Kalau mereka menjawab, Tuhan mengetahui perbuatan mereka sebelum mereka diciptakan. Maka jawaban ini akan melahirkan pertanyaan lanjutan kepada mereka. Kalau begitu, siapa yang merencanakan perbuatan tersebut? Kalau HTI menjawab, yang merencanakan adalah mereka sendiri, maka jawaban ini tidak rasional. Bagaimana mungkin, makhluk yang belum diciptakan telah merencanakan sesuatu yang akan ia lakukan? Apabila HTI menjawab, bahwa yang merencanakan perbuatan tersebut adalah Tuhan, maka itulah sebenanya keyakinan Ahlussunnah Wal-Jamaah terhadap keberadaan takdir dan ketentuan Allah.
Demikian penggalan dialog kami dengan sahabat HTI. Dalam penjelasan tersebut, sahabat dari HTI dapat menerima penjelasan dari saya. Alhamdulillah. Kini, kabarnya HTI telah dibubarkan oleh pemerintah. Semoga mereka kembali kepada Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Kita harus mengakui,dengan jujur, tidak semua apa yang diperjuangkan dan disebarkan HTI itu salah. Orang-orang HTI memiliki ghirah yang tinggi terhadap dijalankannya syariah Islam oleh umat Islam sendiri, penanaman akhlak Islami, terutama untuk kalangan remaja dan pemuda yang semakin lama semakin tergerus oleh arus modernisasi global. Bahkan dalam beberapa pertemuan kami dengan orang-orang HTI, mereka menawarkan kita untuk melakukan poligami aman dan damai.
Wallahu a’lam.
Sumber :
KH. M. Idrus Ramli
Baca Juga: