Pemikiran-pemikiran anak-anak muda islam dalam Jaringan Islam Liberal ( JIL ) tidak harus dicap secara gradual, sebagai pandangan yang sesat. Ada elemen-elemen yang dibenarkan, dan ada sebagian yang kurang benar. Boleh dikatakan, JIL merupakan upaya ijtihad baru pemikiran keislaman, dan sejauh ini baru tahap eksperimen, belum final. Karena itu JIL baru dalam satu tahap saja dalam industri ijtihad, masih harus melalui sekian etape dan episode sampai menemukan titik kebenaran hakiki.
Pemikiran JIL cendrung kritis. Dan kritisme yang tidak disertai keikhlasan jiwa akan melahirkan arogansi pemikiran atau kesombongan intelektual. Sebab islam dalam konteks wilayah berfikir, hanyalah islam diwilayah syariat. Jika semisal JIL memasuki wilayah hakikat islam dengan menggunakan instrumen rasional, juga akan mengalami kegagalan, sebagaimana nasib yang dialami mereka yang hanya memahami islam secara tekstual. Yang didapat justru keresahan psikhologis yang tak menentu, terutama dalam praktek ubudiyyah dan interaksinya dengan Allah SWT.
Munculnya JIL lebih merupakan reaksi dua kutub pemikiran ke-islaman. Satu kutub yang bermuara ke islam tradisional, dan satu kutub bermuara ke pemikiran islam formal modernis, yang dua-duanya dianggap menghambat kemajuan islam. Tetapi tujuan baik itu tidak diikuti oleh prasyarat-prasyarat dasar bagi seorang mujtahid yang seharusnya menguasai khazanah Al-Quran dan sunnah, khazanah intelektualisme dan disiplin keilmuan islam secara menyeluruh, lalu ibarat seorang yang baru belajar jurus-jurus silat, sudah ingin mendemonstrasikan kemampuannya, layaknya seorang pendekar silat beneran. Padahal pendekar silatnya justru diam dan bersahaja. Sebagaimana pula nasib kaum formalis islam, yang baru mengenal satu dua ayat, satu dua hadits, langsung berfatwa, dengan bahasa dan emosi yang garang, layaknya seorang mufti. Kemudian ia merasa paling islami.
Siapapun yang mendalami islam hanya di dataran pemikiran dan intelektualisme akan mengalami kekeringan jiwa dan kegersangan ruhani. Siapapun pula yang mendalami islam pada kulit-kulitnya belaka, akan mengalami kekerasan hati dan kesombongan religius. Begitu juga orang yang memasuki dunia hakikat tetapi berlaku layaknya kedua kelompok diatas, tidak lebih hipokrit dibanding keduanya.
Kenapa orang malu bermahzab jika tak mampu berijtihad dan tidak memenuhi syarat ijtihad?
Kenapa orang merasa bisa berijtihad dan menolak mahzab padahal metode ijtihadnya juga hasil dari pemikiran mujtahid?
Kenapa orang jadi mempersempit dadanya sendiri sehingga tidak meraih ( Yasrah shodrohu lil-islam ), lalu dadanya dipenuhi gejolak iri, dengki, emosi dan takabur?
Kenapa sesorang kehilangan rasa sopan santun dihatinya, tapi mengedepankan santun basa-basi di lahiriyahnya saja sebagai wujud adab islam?
JIL yang sering mendekonstruksi formalisme syariat bisa saja terjebak pada ghurur ( tipu daya ) psikhologisnya sendiri, lalu muncul pengabaian terhadap syariat. Begitu juga yang sangat syariat, bisa terlempar pada kegersangan jiwa, karena lebih banyak i'timad ( bergantung ) pada amal, bukan beri'timad pada Allah.
Apakah dunia sufi akan menjadi solusi bagi benturan-benturan peradaban internal islam ini? Insya Allah, kami yakin.
( KH. Lukman Hakim, Ph.D - Tabloid Cahaya Sufi )