Berita berhampuran, ribuan kata terlontar, para politisi belingsatan. Hanya untuk satu tujuan, menghentikan nonton bareng (nobar) film G30S/PKI.
Semua orang-orang tua tahu bahwa kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) itu ada dan membanjiri tanah ini dengan darah segar. Tapi, jika saja anda turun ke bawah bertemu dengan umur yang lebih muda. Tanyalah ke beberapa mahasiswa contohnya, banyak dari mereka yang tidak mengetahui tentang sejarah kelam bangsa ini dengan PKI.
Kejadian itu tepatnya pada tanggal 30 september 1965. Kini 52 tahun kemudian, anak-anak yang tidak mengerti akan sejarah menyakitkan yang pernah dilakukan PKI kepada kakek-nenek dan buyut mereka, akan coba kembali diingatkan tentang tragedi itu.
Tahukan Anda berapa juta anak Indonesia yang tidak mengerti sejarah kelam pembantaian buyut-buyut mereka oleh PKI ? Mereka buta tentang hal itu. Ketika pengetahuan ataupun sejarah (knowledge) tidak ada di dalam memori anak, maka jangan harap anak akan mempunyai sebuah ikatan emosional. Orang hanya akan mempunyai ikatan emosi (dengan negaranya) yang kuat jika ada ingatan di dalam memori.
Bagian otak, hippocampus, yang berfungsi untuk menyimpan memori tidak akan mampu untuk mengaktifkan amygdala, bagian otak yang berfungsi untuk memproses emosi, jika tidak ada informasi yang dimasukan. Inilah yang terjadi pada jutaan anak Indonesia saat ini.
Mereka tidak lagi memiliki ikatan emosi yang kuat terhadap negeri ini karena memori mereka kosong. Tak sedikit anak muda hari ini yang acuh tak acuh terhadap kelakuan PKI pada masa lalu, karena mereka tidak pernah diajarkan akan hal itu.
Pemerintah (menteri pendidikan), Komisi Perlindunga Anak Indonesia (KPAI) dan manusia lainnya telah melarang anak-anak untuk menonton film G30S/PKI. Apakah ini upaya pemerintah untuk mengosongkan memori tentang fakta jahat PKI di Indonesia dari dalam hippocampus anak Indonesia ?
Anda perlu tahu, cara bekerja otak manusia itu saling terkait. Jika hippocampus (bagian memori) dikosongkan. Dalam hal ini anak tidak diberitakan tentang kelakuan bengis PKI. Jika dikemudian hari mereka bertemu akan kebangkitan PKI, sudah barang tentu mereka akan merespon secara tak peduli atau bahkan tidak ada respon sama sekali. Dan itu sudah tampak saat ini !
Mengapa bisa tidak ada ikatan batin ataupun emosi ? Karena di dalam hippocampus-nya tidak ada informasi tentang kekejaman PKI terhadap bangsa Indonesia, termasuk kepada para ulama-ulama Indonesia.
Sesuatu hal yang wajar dan logis dalam dunia neuropsikologi, tidak ada memori maka tidak ada emosi. Jika hippocampus-nya tidak menyimpan data tentang kekejaman PKI bagaimana mungkin anak-anak Indonesia mempunyai ikatan dan sentuhah emosi yang kuat untuk mempertahankan negara dan keagamaan mereka di negeri ini.
Jika KPAI dan Menteri Pendidikan melarang anak-anak untuk menonton film G30S/PKI karena ada konten kekerasan dan pornografi. Maka, sebelum orang-orang ramai untuk membuat nobar film G30S/PKI ini, sudah jauh lebih banyak dan parah konten kekerasan dan pornografi yang beredar di media dan internet hingga masuk ke dalam genggaman anak-anak.
Lalu kenapa KPAI dan Menteri pendidikan tidak melarang itu dengan suara yang lantang, keras dan terus konsisten? Mungkin bisa disensor pada bagian-bagian tertentu jika anak menonton. Apa jangan-jangan pemerintah sudah disusupi PKI secara tidak sadar?
Apakah memang benar bahwa dengan melihat tindakan kekerasan yang ada di dalam film itu, lalu anak akan melakukan tindakan kekerasan? Saya adalah generasi yang dibesarkan untuk selalu menonton dan tidak melewatkan pemutaran film G30S/PKI di TVRI pada saat itu. Belum pernah saya mendengar satupun dari generasi saya yang menjadi pembunuh seperti PKI karena telah menonton film tersebut.
Mari kita belajar pada negara lain, mereka bahkan membuat lebih dari film. Mereka bangun monumen tentang kekejaman nazi di Auschwitz, Jerman. Yang mana tempat melakukan segala jenis eksekusi pada tahun 1940 - 1945. Anda tahu apa dampaknya secara psikologis?
Jika Anda berbicang-bincang dengan orang Jerman, maka mereka akan merasa bahwa ini adalah hal paling kelam yang ada di dalam sejarah perjalanan negara mereka. Secara psikologis mereka malu ketika diingatkan hal itu. Psikologi orang Jerman dibentuk oleh sejarah yang dibenamkan ke semua hippocampus warganya termasuk melalui kurikulum sekolah dan juga museum-museum seperti tempat konsentrasi Auschwitz.
Sekarang kita pergi ke kota kecil yang eksotik di Belgia, Ghent. Di sana ada sebuah benteng dengan gaya arsitektur gotik yang dikenal dengan nama, Gravensteen. Anak-anak sekolah diajak untuk melakukan wisata untuk berkeliling di dalam benteng tersebut. Mereka diajarkan tentang kekejaman di dalam benteng itu. Termasuk di dalamnya ada semua alat-alat melakukan eksekusi seperti guillotine (pisau besar untuk memenggal kepala). Anak-anak sekolah diajarkan tentang kekerasan yang terjadi di abad 12 di dalam benteng itu.
Apakah mereka berubah menjadi pemenggal kepala ketika dewasa ? Jawabanya, tentu tidak.
Di Asia sendiri, pada 4 september 1975, dibuka sebuah museum yang diberi nama “rumah pameran kejahatan Amerika dan bonekanya“ (Exhibition House for US and Puppet Crimes). Untuk saat ini, nama itu berubah menjadi ”museum sejarah peperangan“ (War remnants museum). Isinya tetap sama, menggambarkan bagaimana kekejaman Amerika melakukan invansi dan penjajahan kepada rakyat vietnam. Ini merupakan bagian pendidikan yang diajarkan kepada generasi meda. Tentunya, hal ini membentuk psikologis masyarakat vietnam sampai hari ini. Mereka mencintai negerinya.
Lalu bagaimana dengan anak-anak kita ?
Jangan biarkan anak-anak kita tidak mengenal dirinya. Psikologi dan mekanisme kerja otak sebuah masyarakat dibentuk oleh pengetahuan yang kerap diturunkan dari generasi ke generasi. Mengajarkan anak-anak tentang masa lalu, sekalipun itu kelam, memberikan pelajaran bahwa jangan sampai sejarah itu berulang dalam kehidupan mereka. Dan yang lebih penting, menanamkan rasa cinta tanah pada tanah kelahiran.
Selamat menikmati tayangan G30S/PKI anak-anakku !
*) Peneliti Neuropsikologi
Sumber: replubika.co.id