USTAD ABDULLAH SHOLEH AL-HADRAMI ANGKAT BICARA TENTANG KENCING KUCING...
Saat ini lagi marak dan viral pembahasan tentang najis tidaknya tai kucing dan kencingnya disebabkan fatwa seorang Ustadz yang mengatakan bahwa tai kucing dan kencingnya itu suci, tidak najis, dengan berdalil sabda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bahwa “kucing itu tidak najis”.
Kemudian Ustadz tersebut mengambil kesimpulan karena kucing tidak najis berarti tai dan kencing kucing juga tidak najis.
Padahal para ulama dari empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali SEPAKAT bahwa tai dan kencing kucing itu najis. Bahkan para ulama Kibar seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan lainnya juga berfatwa najis.
Pertanyaannya adalah:
1. Siapa ulama yang berdalil dengan hadits diatas akan sucinya tai dan kencing kucing. Ataukah hanya ijtihad pribadi sang Ustadz ?
2. Jika kita lapang dada menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah ini padahal menyelisihi madzhab yang empat bahkan menyelisihi ijma’, apakah kita juga siap untuk berlapang dada dalam masalah lain, seperti halalnya musik yang berdampak positif (bukan berdampak negatif), bolehnya demonstrasi damai (bukan anarkis), bolehnya isbal tanpa ada kesombongan, dan permasalahan lain yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ?
Jawabannya:
1. Jika jawabannya ada ulama yang berdalil dengan hadits tersebut akan sucinya tai dan kencing kucing, maka silahkan saja Anda mengikutinya kalau Anda meyakininya. Yang penting bukan pendapat pribadi yang mengada-ada. Al-Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah menasehatkan:
“Berhati-hatilah kamu daripada berbicara tentang satu masalah yang kamu tidak mempunyai imam di dalamnya”. (Diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Manaqib Al-Imam Ahmad)
2. Jika Anda keras dalam masalah perbedaan pendapat dalam masalah lain seperti yang telah disebutkan, akan tetapi Anda berlapang dada dalam masalah tai dan kencing kucing ini, berarti Anda mengikuti HAWA NAFSU karena tujuannya hanya membela teman dan kelompoknya saja. Lapang dada terhadap teman atau kelompoknya sendiri akan tetapi keras kepada yang dianggap bukan kelompoknya dalam kasus yang hampir sama bahkan kasus yang lebih ringan. Ini namanya SATNDAR GANDA dan mau enaknya saja sesuai selera.
Perbedaan itu indah jika kita mampu menyikapinya dengan baik dan benar.
‘Aun bin Abdillah Rahimahullah berkata: "Aku tidak suka seandainya para sahabat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam tidak berikhtilaf (berbeda pendapat). Karena kalau mereka bersepakat atas sesuatu, lalu orang meninggalkannya, maka ia telah meninggalkan sunnah. Tapi kalau mereka berikhtilaf (berbeda pendapat), dan orang mengambil pendapat salah seorang di antara mereka, ia tetap berpegang kepada sunnah."
(Sunan Ad-Darimi, wafat 255H / 869M, bab 52 Ikhtilaful Fuqaha, atsar nomer 642, Maktabah Syamilah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Majmu' Fatawanya menyebutkan:
"Ada seorang yang menulis kitab tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat), lalu Imam Ahmad bin hanbal Rahimahullah mengatakan: "Jangan kamu beri nama "Kitab Ikhtilaf", tapi berilah nama "Kitab Sunnah". Dalam naskah yang lain; "tapi berilah nama "Kitabus Sa'ah" atau kitab keluasan". Maksud Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah adalah perbedaan itu adalah keluasan yang menjadikan luas, bukan sempit.
Oleh karena inilah, sebagian Ulama mengatakan bahwa, ijma' mereka (para ulama' atau para sahabat) adalah hujjah yang pasti dan ikhtilaf mereka adalah rahmat yang luas.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah mengatakan: "Aku tidak suka kalau para sahabat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam tidak berikhtilaf (berbeda pendapat). Karena apabila mereka bersepakat atas suatu pendapat, lalu ada orang yang menyelisihinya, tentulah orang tersebut tersesat. Namun, apabila mereka (para sahabat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam) berikhtilaf, lalu ada orang mengambil pendapat yang ini dan orang lain mengambil pendapat yang itu, tentulah dalam hal ini terdapat keluasan."
(Majmu' Fatawa Ibnu Taimyyah 7/250, Maktabah Syamilah)
Syaikhuna Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin Rahimahullah berkata: “Hendaklah selalu berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad. Yaitu permasalahan yang memungkinkan seseorang berpendapat dan terbuka kemungkinan untuk berbeda. Adapun siapa saja yang menyelisihi jalan salafush shaleh –Rahimahumullah dalam masalah aqidah maka hal ini tidak bisa diterima dan ditolelir”.
(Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 28-29. Baca pula untuk masalah ini kitab Perpecahan Umat, karya: Dr Nasir al-‘Aql, penerbit Darul Haq Jakarta).
Semoga bermanfaat.
Malang, Jum’at 30 Muharram 1439/ 20 Oktober 2017
Ustad Abdullah Sholeh Hadrami
Murid Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah.
Saat ini lagi marak dan viral pembahasan tentang najis tidaknya tai kucing dan kencingnya disebabkan fatwa seorang Ustadz yang mengatakan bahwa tai kucing dan kencingnya itu suci, tidak najis, dengan berdalil sabda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bahwa “kucing itu tidak najis”.
Kemudian Ustadz tersebut mengambil kesimpulan karena kucing tidak najis berarti tai dan kencing kucing juga tidak najis.
Padahal para ulama dari empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali SEPAKAT bahwa tai dan kencing kucing itu najis. Bahkan para ulama Kibar seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan lainnya juga berfatwa najis.
Pertanyaannya adalah:
1. Siapa ulama yang berdalil dengan hadits diatas akan sucinya tai dan kencing kucing. Ataukah hanya ijtihad pribadi sang Ustadz ?
2. Jika kita lapang dada menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah ini padahal menyelisihi madzhab yang empat bahkan menyelisihi ijma’, apakah kita juga siap untuk berlapang dada dalam masalah lain, seperti halalnya musik yang berdampak positif (bukan berdampak negatif), bolehnya demonstrasi damai (bukan anarkis), bolehnya isbal tanpa ada kesombongan, dan permasalahan lain yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ?
Jawabannya:
1. Jika jawabannya ada ulama yang berdalil dengan hadits tersebut akan sucinya tai dan kencing kucing, maka silahkan saja Anda mengikutinya kalau Anda meyakininya. Yang penting bukan pendapat pribadi yang mengada-ada. Al-Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah menasehatkan:
“Berhati-hatilah kamu daripada berbicara tentang satu masalah yang kamu tidak mempunyai imam di dalamnya”. (Diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Manaqib Al-Imam Ahmad)
2. Jika Anda keras dalam masalah perbedaan pendapat dalam masalah lain seperti yang telah disebutkan, akan tetapi Anda berlapang dada dalam masalah tai dan kencing kucing ini, berarti Anda mengikuti HAWA NAFSU karena tujuannya hanya membela teman dan kelompoknya saja. Lapang dada terhadap teman atau kelompoknya sendiri akan tetapi keras kepada yang dianggap bukan kelompoknya dalam kasus yang hampir sama bahkan kasus yang lebih ringan. Ini namanya SATNDAR GANDA dan mau enaknya saja sesuai selera.
Perbedaan itu indah jika kita mampu menyikapinya dengan baik dan benar.
‘Aun bin Abdillah Rahimahullah berkata: "Aku tidak suka seandainya para sahabat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam tidak berikhtilaf (berbeda pendapat). Karena kalau mereka bersepakat atas sesuatu, lalu orang meninggalkannya, maka ia telah meninggalkan sunnah. Tapi kalau mereka berikhtilaf (berbeda pendapat), dan orang mengambil pendapat salah seorang di antara mereka, ia tetap berpegang kepada sunnah."
(Sunan Ad-Darimi, wafat 255H / 869M, bab 52 Ikhtilaful Fuqaha, atsar nomer 642, Maktabah Syamilah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Majmu' Fatawanya menyebutkan:
"Ada seorang yang menulis kitab tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat), lalu Imam Ahmad bin hanbal Rahimahullah mengatakan: "Jangan kamu beri nama "Kitab Ikhtilaf", tapi berilah nama "Kitab Sunnah". Dalam naskah yang lain; "tapi berilah nama "Kitabus Sa'ah" atau kitab keluasan". Maksud Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah adalah perbedaan itu adalah keluasan yang menjadikan luas, bukan sempit.
Oleh karena inilah, sebagian Ulama mengatakan bahwa, ijma' mereka (para ulama' atau para sahabat) adalah hujjah yang pasti dan ikhtilaf mereka adalah rahmat yang luas.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah mengatakan: "Aku tidak suka kalau para sahabat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam tidak berikhtilaf (berbeda pendapat). Karena apabila mereka bersepakat atas suatu pendapat, lalu ada orang yang menyelisihinya, tentulah orang tersebut tersesat. Namun, apabila mereka (para sahabat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam) berikhtilaf, lalu ada orang mengambil pendapat yang ini dan orang lain mengambil pendapat yang itu, tentulah dalam hal ini terdapat keluasan."
(Majmu' Fatawa Ibnu Taimyyah 7/250, Maktabah Syamilah)
Syaikhuna Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin Rahimahullah berkata: “Hendaklah selalu berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad. Yaitu permasalahan yang memungkinkan seseorang berpendapat dan terbuka kemungkinan untuk berbeda. Adapun siapa saja yang menyelisihi jalan salafush shaleh –Rahimahumullah dalam masalah aqidah maka hal ini tidak bisa diterima dan ditolelir”.
(Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 28-29. Baca pula untuk masalah ini kitab Perpecahan Umat, karya: Dr Nasir al-‘Aql, penerbit Darul Haq Jakarta).
Semoga bermanfaat.
Malang, Jum’at 30 Muharram 1439/ 20 Oktober 2017
Ustad Abdullah Sholeh Hadrami
Murid Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah.