Politik Pencitraan Jokowi di Papua
Dalam drama politik negara Indonesia sejatinya harus di jalankan berdasarkan [Bonum Commune] yang artinya politik yang mebebaskan, membuat kebaikan dan membangun masyarakat dengan kepentingan Masyarakat setempat. Tentunya hal ini memperjuangkan kemakmuran kesejahtraan rakyat. Jhon Maynard Keynes [1936 pun menjelaskan bahwa Pembangunan sebaik mungkin dilaksanakan menyejahtrakan masyarakat setempat. Hal ini tentunya melakukan berbagai pendekatan persuasif terhadap masyarakat setempat.
Pembangunan di Papua setelah era-Reformasi di tandai dengan eksploitasi, pembunuhan, pemusnahan dan pelanggaran hukum. Hingga kepemimpinan Jokowi pun, masih dengan program lama setidaknya pembangunan yang tidak beradap dan tidak tepat sasaran dan hanya menghabiskan APBN dan APBD.
Wacana pemerintah pusat untuk pembangunan daerah tertinggal di Indonesia khususnya di Papua telah di rencanakan sejak Kampanye politik di Papua dan melalui janji-janji Politik ketika kunjungan kerja presiden Jokowi di Papua serta melalui Nawacita Joko Widodo. Janji-janji Jokowi itu yakni:
1) Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua
2) Sejahtrakan Guru dan TNI di Perbatasan,
3) Mengentaskan Konflik Masyarakat
4) Membangun tol Laut
5) Renegosiasi Perusahan asing
6) Terapkan Pertanian Modern
7) Akses Jaringan Internet
8) 65 % PNS untuk orang Asli Papua
9, Miliki Sains Tenchopark
10) Pembangunan Real Estate
11) KRL di Papua
12) Bebaskan pengangguran di Papua dan janji janji lainya ketika mengunjungi Papua selama masa Jabatan.
[Lihat, CNN. Indonesia/04/09/17, Honaicenter/10/12/15]
Rencana pembangunan dan janji-janji politik Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presdien Joko Widodo ini ternyata hanya menjadi gula-gula politk bagi masyarakat Papua. Perioritas pembangunan yang di lakukan pemerintah pusat gagal total sebab beberapa program tidak terlaksanaka hingga kini. Dengan itu Natalius Pigai Komisioner KOMNAS HAM juga membenarkan “program pembangunan pendidikan di Indonesia hingga pada kepemimpinan Jokowi masih belum menurunkan angka Pengganguran dan negara tak mampu mengatur pendidikan dan itu mengakibatkan ancaman serius untuk masyarakat Indonesia”. [Lihat: RMOL/07/11/17].
Tidak hanya demikian, pembangunan Trans Papua yang dikabarkan melalui Media kompas dengan judul “Trans Papua membela bukit dan menembus Gunung”. Hingga kini kenyataanya tidak benar. Yang hingga kini Infrastruktur yang terbangun hanya Trans Wamena-Nduga selain dari itu hanya ada pembangunan lama. [Lihat,RMOL/13/02/17. Ternyata pemberitaan dan janji-janji politik Jokowi di Papua hanya sebuah gula-gula politik untuk masyarakat Papua dan pemerintah daerah Papua dan pemberitaan itu adalah sebuah politik Pencitraan yang di praktekkan oleh Pemerintah Pusat. Pencitraan yang berwawasan menghalalkan yang sebenarnya adalah tindakan negara yang sewenang-wenang.
Pandangan Machiavelli dalam realitas teori politik diasosiasikan dengan cara yang buruk, untuk menghalalkan, cara untuk mencapai tujuan tertentu. Pada saat ini, Kepemimpinan Jokowi dan pemerintah Indonesia sedang mempraktekkan Teori Machiavelli di Papua. Tentunya hal ini kita lihat dari beberapa program, janji-janji yang belum terlaksanan meskipun pemberitaan tidak benar menebar.
Pemerintah Indonesia dibawa Kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menghalalkan masalah pokok orang Papua yang sebenarnya dan yang harus diprioritaskan untuk membangun Papua secara adil, damai dan tak ada tolak belakang. Kepemimpinan Jokowi telah menghalalkan masalah pendidikan, pelanggaran HAM dan eksploitasi bahkan pembangunan pun tidak terlaksana. Persoalan Pelanggaran HAM berat di Papua seperti kasus Paniai, Wamena dan Wasior tidak di selesaikan. Jokowi tak bisa membangun Papua dengan damai, aman dan adil apabila masalah pelanggaran HAM pun tidak diselesaikan yang di janjikan kepada masyarakat Papua.
Politik pencitraan yang di Dramakan pada era kepemimpinan Jokowi sangat jelas bahwa berdasarkan data 2016, Indonesia telah mengalami kemunduran dalam bidang tenaga kerja akhirnya 7,01 juta penduduk Indonesia yang menganggur hal ini kebanyakan di Indonesia timur di Papua. Selain itu, melalui Sekretariat Kabinet ingin mengetahui beberapa banyak pemerintah menyikapi kasus kekerasan di Papua dengan tujuh keterangan yakni kekerasan Paniai (Desember 2014), mengangkat martabat orang Papua (Maret 2015), membebaskan tahanan Politik (Mei 2015) penegakan Hukum atas pelanggaran HAM di Tolikara (Juli 2015), dan pendekatan adat untuk menyelesaikan masalah pelanggaran (November 2015), ada pula pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian HAM Papua (Juni 2016) dan terakhir pendekatan HAM dalam pembangunan di Papua (November 2016).
Dari berbagai data atas Janji dan masalah di atas ini hanya bentuk politik Machiavelli di Italia yang di praktekkan oleh Pemerintahan Jokowi di Papua hingga kini. Sebab, pemerintah pusat dalam hal ini kepemimpinan Jokowi telah menghalalkan berbagai persoalan yang terjadi di Papua. Jokowi tidak bisa bangun Papua apabila ada masalah tumpang tindih antara Papua-Jakarta dari sekian masalah dan janji tersebut. Selain itu, pemerintah juga membohongi pelbagai stratifikasi sosial dan deferensiasi sosial di Indonesia dengan wacana Pembangunan yang di beritakan oleh Jokowi di Papua. Hingga kini Pembangunan, Jalan Trans Papua, Pelabuhan, dan bandara di Papua belum terlaksana, jalan Trans Papua berhasil hanya satu di Wamena yakni Trans Wamena Nduga yang di bangun oleh Tentara Negara Indonesia Angkatan Darat itupun merupakan dampak terhadap masyarakat sebab pembangunan tidak melibatkan masyarakat yang semena-mena menghacurkan daerah keramat yang di yakini masyarkat setempat.
Inilah wajah pemerintah di Papua yang pada akhir-akhirnya ini pemerintah Pusat membombastikan pembangunan Papua yang pada dasarnya adalah Pencitraan atau politik drama yang dimainkan oleh pemerintah pusat di bawa kepemimpinan Joko Widodo di Papua.
Pembangunan, pemusnahan dan gula-gula Politik
Hubungan efektifitas kebijakan pembangunan pemerintah pusat di kaji berdasarkan variabel bebas melalui demokrasi deliberatif yang kemudian di kemukakan oleh Jurgen Habermas (1996) selanjutnya Budi Hardiman menuliskan dalam buku “Demokrasi Deliberatif”. [Lihat.,Hlm.128]. Pelaksanaan efektifitas pembangunan di Papua tidak muda melegitimasi melalui kelompok tertentu serta individualisme. Habermas dalam hal ini menekankan bahwa masyarakat modern tentunya didekati dengan tindakan komunikatif, artinya setiap kebijakan, janji dan masalah yang terjadi yang berorientasi pada tumpang-tindih dan kemudian di dekati dengan prosedur konsensus agar kesepahaman, persetujuan dan saling mengerti.
Pendekatan efektifitas pembangunan daerah berdasarkan demokrasi deliberatif secara umum tidak terlaksana di Papua [Jurgen Habermas, 1996]. Pembangunan yang di legitimasi pemerintah Pusat kadang tidak sepaham dengan persetujuan masyarakat. Prosedur ini yang di praktekkan di Papua sejak pemberlakuan undang-undang 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat. Tentunya hal ini di buktikan dengan pembangunan yang tidak efektif dan pembangunan yang dominatif meloloskan kapitalisme dan kolonialisme Indonesia.
Kebijakan pembangunan daerah terisolasi di Papua pada umumnya berujung pada pemusnahan. Hal ini dilihat dari berbagai aspek yakni: Politik, Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Pendidikan, Agama dan lainya. Subtansi dari persoalan Sosial adalah terjadi pemiskinan, ketergantungan, pembunuhan dan penjudian yang di kategorikan di marjinalkan dibawa sayap negara Indonesia dan sebagainya. Pemusnahan Lingkungan ini ketika adanya Indonesia di Papua telah melampaui batas perusakan hutan di Papua demi kepentingan Kapitalisme, seperti pembalakan hutan adat di Merauke yang di muat dalam video dokumenter Dandhy Laksono dengan judul film “The Mahuze`s” dan lainya. Demikian pula pemusnahan dari beberapa aspek diatas ini. Semua pembangunan berujung pada ketidakseriusan dalam pembangunan sehingga mengakibatkan pemusnahan di Tanah.
Politik pencitraan atau politik dramaturgi menjadi sebuah gula-gula politik bagi masyarakat Papua dengan janji-janji serta kebijakan pemerintah pusat yang hanya wacana publik yang hanya membombastis pelayanan, pembangunan dan menjaga masyarakat yang hanya pencitraan publik Internasional yang kemudian sering di presentasikan di Perserikatan Bangsa Bangsa. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah pembangunan berjalan sebanding pencitraan jokowi di Media sosial di Indonesia?
Oleh: Moses Douw
Penulis adalah mahasiswa kuliah di Kota Jayapura
Diambil dari:
http://mosesdouw.blogspot.co.id/2017/12/politik-pencitraan-dan-pembangunan.html?