MEMBATASI MAKNA ISTILAH-ISTILAH SYARA’
Sering kali,sebagian istilah dalam syara' (agama) dipahami dengan berbagai makna yang terbatas. Padahal, makna asalnya lebih luas darinya. Sehingga hal ini menimbulkan berbagai kesalahan dalam menetapkan dan menyikapi sebuah hukum syara’. Kondisi ini diperparah dengan adanya berbagai pemahaman yang keliru terhadap sebagian istilah-istilah tersebut. Diantara contohnya sebagai berikut :
1). Membatasi makna “perintah” kepada perkara yang wajib saja. Jika ada “perintah” di dalam Al-Qur’an ataupun hadits nabi, maka hanya dibawa kepada makna ini. Padahal, perintah itu ada yang wajib dan ada yang sunnah. Sehingga, jika ada seorang yang meninggalkan suatu perintah, langsung dihukumi dan disikapi sebagai seorang yang meninggalkan kewajiban walaupun saat itu dia sedang meninggalkan suatu perkara yang hukumnya sunnah.
2). Membatasi makna “larangan” hanya pada perkara yang “haram” saja. Seluruh larangan di dalam Al-Qur’an ataupun hadits nabi, maka dipahami hukumnya “haram”. Padahal, larangan itu bisa jadi haram, dan bisa jadi makruh. Sehingga kalau ada seorang yang melakukan perkara yang hukumnya makruh, disikapi seolah melakukan perkara haram.
3). Membatasi “dalil” dari Al-Qur’an dan Sunnah hanya dengan dua makna saja, pertama : contoh dari nabi, dan kedua : dalil yang secara spesifik menunjukkan atau memerintahkan kepada suatu perkara. Sehingga setiap perkara yang “tidak ada contohnya dari nabi”, atau tidak ada dalil yang menunjukkannya secara spesifik, maka dihukumi sebagai “perkara baru” (baca : bid’ah). Ini sebuah kesalahan. Dalil itu tidak hanya Al-Qur’an dan hadits, tapi masih ada ijma’ dan qiyas. Ini yang disepakati. Ada lagi berbagai “dalil” lain selain empat hal ini, seperti : ucapan sahabat, syari’at sebelum kita, istihsan, ishtishab, dan yang lainnya.
4). Membatasi cara istifadah (mengambil faidah) dari sebuah dalil hanya dengan “contoh dari nabi” dan meniadakan yang lainnya. Padahal istifadah dari sebuah dalil, terbagi menjadi dua, pertama dari sisi lughah (bahasa) dan yang kedua dari sisi dilalah (penunjukkan). Dari dua hal ini masih terbagi lagi menjadi berbagai macam hal.
5). Membuang hadits dhaif (lemah) secara mutlak. Padahal, hadits yang lemah secara riwayat, belum tentu dhaif secara dirayah (matan/isi)nya. Karena isinya bisa jadi dikuatkan dan ditunjukkan oleh dalil lain yang shahih, mungkin dari Al-Qur’an, atau hadits, atau Ijma’, atau qiyas dan yang lainnya.
6). Tidak mengamalkan hadits dhaif secara mutlak. Padahal mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul a’mal (keutamaan amalan), atau dalam bab targhib wa tarhib, atau akhlak, atau yang semakna dengan hal ini adalah boleh dengan ijma’ ulama’ muslimin sebagaimana disebutkan oleh Imam An-nawawi –rahimahullah-.
7). Membatasi istilah “sunnah” sebagai al-huda (petunjuk) yang bersifat mutlak dan harus, dengan jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah”. Sehingga ketika ada seorang yang tidak mengamalkan suatu perkara yang hukumnya “sunnah” menurut hukum taklifiyyah, disikapi sebagai seorang yang telah keluar dari petunjuk (baca : sesat/hizbi).
8). Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya....(semoga di suatu waktu diberi kemudahan untuk mengumpulkannya dalam sebuah buku dengan penjelasan yang lebih detail. Amin...)
Delapan perkara yang tersebut di atas, merupakan fakta yang beredar di kalangan sebagian muslimin. Bahkan di sebagian da’i. Ini menjadi PR kita bersama untuk bahu-membahu meluruskannya. Oleh karenanya, dalam memahami istilah-istilah syara’, perlu kiranya (kalau tidak dikatakan wajib) untuk menimbang dengan timbangan yang ilmiyyah, adil, serta menyeluruh. Jangan mengambil sepotong dan membuang potongan lain. Jangan melihat dari satu arah saja, dengan meninggalkan arah yang lain. Semoga bermanfaat.
Ditulis oleh: Abdullah Al Jirani
[Pembina dan pengajar di Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam/LDBI “Darul Hikmah”, Solo – Indonesia]