Guru bukan robot dan mesin yang bekerja tanpa istirahat. Guru berbeda dengan profesi lain, karena berkaitan ilmu pengetahuan, kecerdasan pelajar mulai dari intelektual, spiritual dan emosional. Salah sedikit transfer informasi dan ilmu, maka rusaklah dunia. Namun beban administrasi dari pemerintah sangat “tidak manusiawi” khususnya guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Banyak yang mengira menjadi guru PNS itu enak, karena jaminan gaji, tunjangan, sertifikasi dan pensiun. Pandangan itu tak sebanding kenyataan. Selain tugas profesi pendidik, guru dibebani tugas administrasi berlebihan, ada tugas harian, mingguan, bulanan, tri wulan, semester dan tahunan.
Dikarenakan terbebani administrasi, tugas utama pendidik termarginalkan. Jangankan membaca buku, meneliti, menulis karya ilmiah apalagi lanjut kuliah ke jenjang magister/doktor, untuk menciptakan pembelajaran ideal saja susah. Apalagi di SD/MI, mengondisikan anak-anak saja susah, apalagi transfer ilmu dan membimbing karakter mereka secara maksimal.
Beban berat itu sebenarnya dikeluhkan guru. Namun mereka “tidak berani” menyuarakan karena pola pikir mereka “praktisi” dan tidak menempatkan diri sebagai “ilmuwan” yang harusnya mencari solusi. Apalagi, urusan mengajar tidak sekadar urusan akal, namun juga hati, perasaan dan keikhlasan.
Tugas Berat
Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) tahun 2005 mewajibkan guru memenuhi 7 tugas utama. Ketujuh tugas itu meliputi mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Selain itu, Depdikbud sejak 1970 membebani guru menjadi “administrator”. Guru diwajibkan memenuhi program pengajaran, menyusun program kegiatan mengajar, menyusun model pelajaran dan tata usaha kelas.
Sejak Depdikbud berubah menjadi Kemendikbud, pemerintah membebani komponen administrasi. Guru wajib memenuhi administrasi kurikulum, personal, administrasi murid, tata laksana, administrasi saran dan kegiatan hubungan sekolah-masyarakat. Jika didata riil, unsur administrasi itu menumpuk dan guru tidak ada bedanya dengan petugas Tata Usaha (TU). Apalagi, di sekolah terutama SD, jarang yang memiliki TU PNS. Di sini kondisi semakin rumit karena sekolah bergantung pada Pegawai Tidak Tetap (PTT) atau Guru Tidak Tetap (GTT) yang menjadi TU/operator.
Administrasi di dunia birokrasi sudah lazim “njelimet”. Tiap hari, guru wajib membuat laporan kinerja harian, mengisi e-kin (kinerja elektronik) bagi yang menerapkan online. Selain tugas pokok itu, guru perbulan/triwulan wajib mengurus pengajuan pencairan sertifikasi, tunjangan tamsil, TPP dan administrasi penelitian bagi yang melakukan. Bagi GTT/PTT wajib mengurus perpanjangan kontrak kerja.
Sementara tugas persemester/tahunan, guru wajib memenuhi adminsitrasi SK KBM, SK mutasi (jika ada), laporan bulanan, SKP perbulan, PKG tahunan, SPT tahunan, Penilaian Angka Kredit (PAK), pengajuan SK berkala (2 tahun sekali), pembaharuan tunjangan anak/istri/suami dan lainnya.
Kemudian pengurusan administrasi siswa mulai dari BOS, Dapodik, beasiswa dan lainnya. Juga tugas lain mulai rapat forum Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), PGRI, UPTD Pendidikan/Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah (BKD), KORPRI dan lainnya. Antara guru PNS, GTT, guru tetap yayasan tugasnya hampir sama.
Bagi guru produktif, beban itu pasti dijalankan dengan benar. Bagi pemalas dan relasi kurang, maka akan menimbulkan kejahatan akademik. Misalnya, saat membuat Silabus/RPP, mereka “membeli” dari orang lain. Padahal itu tugas pokok. Belum lagi menulis karya ilmiah, banyak yang rela membeli dari oknum nakal demi kenaikan pangkat.
Posisi guru saat ini hanya dipandang enaknya saja dan pemerintah terus membebani tanggungjawab memajukan pendidikan. Jika dikalkulasi, waktu mengajar di sekolah sekitar 7 jam itu terkuras mengurus administrasi. Bagaimana fokus mendidik jika beban administrasi melimpah. Sedangkan jika tidak lengkap, maka gaji dan tunjangan susah cair.
Seolah-olah guru seperti robot dan tidak ada waktu untuk belajar, berpikir, mencari inovasi pembelajaran. Wajar saja pendidikan masih terbelakang karena tidak ada bedanya antara “profesi guru” dan “pegawai administrasi”. Pekerjaan guru itu mendidik, mereka harus sempurna dan berpikir agar siswanya berkualitas. Berbeda dengan PNS umum, mereka yang penting bekerja dan memenuhi administrasi, maka selesailah sudah karena tidak ada tuntutan sempurna di depan anak-anak.
Memanusiakan Guru
Guru bukanlah dosen yang dibebani Tri Darma Perguruan Tinggi. Namun, sesuai Permen PAN RB No.16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, ketika golongan III-B guru wajib melakukan penelitian, publikasi ilmiah dan karya inovatif.
Regulasi itu hakikatnya “membebani” guru karena susahnya publikasi karya dan menumpuknya beban administrasi. Tidak heran guru “susah naik pangkat” karena kewajiban publikasi ilmiah setara tugas dosen. Jika tidak memenuhinya, maka guru tidak bisa naik pangkat.
Guru harus “dimanusiakan” dan perlu dicari solusinya. Pertama, pelangsingan administrasi. Fungsi administrator di sini lebih pada tugas pembelajaran, bukan tugas umum, karena sudah ada TU dan kepala sekolah. Maka PTT harus diangkat menjadi PNS agar bekerja maksimal.
Kedua, pola pengarsipan yang jelas, baik bottom op maupun top down. Artinya, jangan ada “administrasi ganda” antara sekolah, UPTD Pendidikan, Dinas Pendidikan dan BKD. Ketiga, mengefektifkan administrasi online. Artinya, jika sudah upload sekali, maka tak perlu mengunggah lagi. Selain hemat, hal itu mengurangi beban dan administrasi ganda. Keempat, kejelasan pembagian tugas, antara guru, TU, kepala sekolah, tugas personal dan tim.
Guru harus punya prinsip mendidik adalah ibadah, amal saleh dan tabungan dunia akhirat. Namun guru tetaplah guru bukan robot, sebab, guru juga manusia!
4 comments
Waduh... Capeknya jd guru
Semoga ada perubahan ke arah yang lebih baik. #saveguru
Semogah pemerintah memperhatikan nasib guru jangan cuma administrasinya saja yg di perhatikan
Memang capek jadi guru anggapan masyakat guru itu cuma ngajar doang