BUKU 6
8. ILMU PENGETAHUAN
ILMU adalah merupakan satu upaya untuk mencapai sesuatu yang
terdiri dari bagian-bagian dalam ulah lingkungannya, dan penempuhannya
diperlukan adanya gerak dan perjalanan disertai tata tertib dan
peraturan-peraturannya yang tertentu yang ada padanya; Yaitu ilmu pengetahuan
yang membahas tentang ketentuan-ketentuan.
- Bilmaqadir
= tentang kadar banyaknya.
- Alkammiyat
= dan tentang hubungan-hubungannya
- Al ‘ilaqat
= Akan tetapi ilmu itu agak lemah terutama untuk mencapai teka-teki yang
memerlukan pemecahan, “Apakah ini dan apakah itu (Almahiyat), dan pula untuk
mencapai hakikat-hakikat yang ada taraf kesudahannya. Dan ilmu itu dalam
persoalan ini kedudukannya tidak lebih dari alat yang kurang mempunyai
kesempurnaan yang malahan kadang-kadang menyesatkan.
Al Imam An Nafri berkata :
“Ilmu itu sendiri merupakan tirai penutup atas apa yang
sudah menjadikan pengetahuannya; yang seyogyanya tidak demikian halnya.
Seorang yang banyak berilmu (“Ulama) terdinding oleh
kesadarannya sendiri, sama halnya dengan si dungu terdinding oleh kelengahannya.
Sungguh pun begitu ilmu itu mencerai-beraikan
akal si alim, disebabkan karena ilmu itu terpetak-petak dalam beberapa
bidang dan arah tujuan pemikiran”.
Ilmu itu sendiri memiliki jalan-jalan dan saluran-saluran,
lalu sampai kepada cabang-cabang. Tiap-tiap cabang mempunyai jalan keluar
sendiri-sendiri, sampai di sini tidak dapat dielakkan lagi akan terjadinya
perselisihan, dan dari perselisihan menjurus ke arah kesesatan.
Akal, setelah mengetahui kesemuanya itu, lalu mengadakan
penyaringan di antara pelbagai macam kemungkinan-kemungkinan, maka
terperosoklah ia ke dalam aneka ragam kesimpang-siuran.”.
Dan Allah dalam seruan-Nya menyampaikan :
“Seorang yang berilmu masih dalam ikatan serba dua
“Menyaksikan dan disaksikan”, begitu pula halnya seorang pengenal (Arifin) ...
yang tidak... dan yang lain halnya... adalah seorang Waqif di Hadirat Ku (orang
yang berdiri tegak di tempat penghentian pencapaian), ia adalah tunggal...
karena dia telah sirna (fana) meniadakan ke serba-duaan lagi, menyadari dan
kembali pada pribadinya sendiri dalam kesederhanaan dan kesatuannya (ringan
lunglai terlepas dari daya tarik apappun dan senyawa-menyatu)”.
“Maka seharusnya puncak dari ilmu, akal dan pikiran itu
mengembalikan pada kedudukan asalnya dari segi bagian-bagian dan kenyataan-kenyataan
kepada Yang “SATU” ialah Allah Maha Penciptanya. Dari sini bertolak ke arah
pengenalan (Makrifah) baru dapat disebut orang arif. Tetapi pandang pengenalan
seorang sufi jauh dari kesemuanya ini, lebih tinggi menjulang dan tidak menilai
ilmu, karena pengenalannya kepada Allah semata-mata, makrifat yang tunggal,
mengenal ke Esaan-Nya, dalam sifat-sifat-Nya, Asma-Nya, Af-al-Nya, Taqdis-Nya
dan ke Maha Sucian-Nya”.
Selanjutnya Allah berseru :
Hai hamba yang berilmu! “Bilamana ilmumu dapat melepaskan
engkau dari ilmu mu, maka engkau akan tiba pada perjalanan pengenalan
(Makrifat), tetapi kalau engkau menyatu dengan ilmu mu, maka ilmu itu akan
menjadi penghijab bagimu; Dudukkan ilmu itu pada tempat yang seyogyanya menjadi
penghantar ke arah makrifat dan bukan engkau yang menyatu dengan ilmu mu”.
“Setelah engkau tiba di ambang pintu makrifat, dan
memasukinya, maka engkau akan terheran-heran dan menginsafi kebodohanmu di
hadapan Zat Illahiat dan inti mula pertamanya.
(Kunhiha) serta apa sebenarnya DIA (Manhiat) terungkaplah di
sini lunglainya pencapaian, itulah pencapaian dan kedunguan adalah puncak
makrifat, maka terhujamlah dalam sanubarimu akan arti sebenarnya dari “ Tiada
satupun yang menyamai-Nya”.
Seorang sufi mewejang : “Kebodohan, kedunguan adalah tirai
penutup yang asli dan tak mungkin tersingkap tentang Zat Ilahiat, kecuali pada
Hari Kebangkitan (Kiamat) kala seorang hamba dikehendaki-Nya untuk memandang
dengan pandangan mata.
Adapun sebelum itu maka tiadalah mungkin melihat Allah
dengan terang-terangan, dan apa yang dialami seorang abid ialah menyaksikan
Allah pada sesuatu yang di dalamnya terdapat bekas dari tangan pembuatnya,
ayat-ayat-Nya, hikmah-Nya, tadbir-Nya (yang diuraikan-Nya). Dan itu merupakan
penglihatan akal serta matahati atau melihat Nur-Nya.
Adapun Zat, akan tetap tinggal terselubung oleh selimut gaib
yang mutlak.
Dan di kala seorang abid mencapai puncak makrifat, maka ia
menyadari akan kebodohannya di hadapan Zat itu; Dan menyadari pula akan
kelemahan semua usaha-usaha dan cara-cara yang selama ini diandalkan; ia akan
memulai perjalanannya kepada Allah dengan menempuh penyaksian. Maka akan
keluarlah ia dari alam nyata selain Allah. Keluar dari ilmunya, amalnya,
makrifatnya, sifatnya, namanya dan juga keluar huruf dan ibarat, dan apa saja
yang diibaratkan oleh huruf dan oleh ucapan ibarat.
Dengan pelepasan, penanggalan segalanya itu tadi adalah
pintu untuk mencapai “Penglihatan” serta jalan masuk menuju “Hadirat-Nya” dan
penghentian jalan terakhir dari “penyaksian” maka ia masuk didorong oleh
kekuatan cahaya yang menetap (tidak membiarkan dan tidak meninggalkan).
Yang demikian adalah, apa yang diuraikan dalam gambaran
seorang sufi “Penglihatan hati (Ru’yah Qolbiah) terhadap Zat yang tertutup
terselubung dan terhijab dengan Nur demi Nur-Nya; dan itu merupakan permulaan
disertai kenyataan yang dikawani oleh poros tempat persembunyian segala sesuatu
dan (dikawani) pula oleh keadaan dari kelenyapan yang sepenuh-penuhnya... tiada
sesuatu... selain Nur itu.
Ketahuilah bahwa Nur itu bukanlah Zat, tetapi hanyalah suatu
ayat (tanda bukti) dari sekian banyaknya tanda-tanda bukti, dan juga sebagai
hijab dari sekian banyaknya hijab-hijab dan juga isim dari berbagai Asma-Nya
(nama-nama-Nya) dan Asma adalah hijab atas yang bernama dan yang dinamai.
Dan ini bukanlah penyaksian pandangan mata. Dalam hal ini
penyaksian pandangan mata tidak mungkin sama sekali selagi di dunia ini, dan
tidaklah bagi insan yang memiliki bentuk jasad insani. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan dari apa yang terjadi, dan apa yang dialami Nabi Musa As. Yang
tidak memiliki daya kemampuan memandang, hingga jatuh pingsan; dan bukit yang
dijadikan contoh tidak pula memiliki kemampuan tersebut hingga hancur lumat
berbutir-butir,
Di dalam Al Qur’an surat Al A’raf 7:143 :
“Dan tatkala Musa datang di tempat yang telah ditentukan,
dan Tuhannya berkata-kata dengannya, lalu berkatalah Musa :”Wahai Tuhanku!
Perlihatkanlah diri-Mu padaku supaya aku dapat memandang-Mu”. Ia pun berfirman
: “Tidak sekali-kali engkau dapat melihatk-Ku, tetapi pandanglah ke bukit itu;
jika ia dapat tetap di tempatnya, maka engkau akan melihat pada-Ku”, Maka
tatkala Allah “memperlihatkan diri” kepada bukit tadi, bukit itupun hancur
luluh menjadi lumat dan jatuhlah Musa dalam keadaan tak sadar diri. Maka
tatkala sadar, berkatalah Musa “Maha Suci Engkau! Aku taubat kepada-Mu, dan aku
adalah orang pertama yang beriman kepada Mu”.
Perhatikan! Musa tidak jatuh pingsan karena melihat Zat
Ilahy, tetapi ia baru melihat tajallinya Zat atas sesuatu yang lain, yakni
bukit itu, baru tajalli-Ny saja, dapatkah engkau membayangkan betapa mungkin
terjadi jika sekiranya Musa melihat Zat-Nya.
Dalam ilmu penegtahuan insani terdapat segi tantangan,
karenanya setiap sesuatu tujuan pemikiran diiringi oleh pemikiran akal yang
menguraikan kebalikannya. Demikian juga kejahilan insani, yang di dalam
kejahilannya terdapat tantangan (dari kebalikannya). Tidak demikian halnya
dengan ilmu pengetahuan Rabbani (Ilahy) yang Ladunni (Ilmu yang didapat
langsung dari Alloh), maka ilmu yang demikian, begitu juga kebodohan yang
berupa “pengetahuan ketidaktahuan”, maka ia adalah suatu kejahilan yang asli,
yang tiada tantangan kebalikannya, karena kejahilan terhadap Zat Ilahiat adalah
merupakan sampainya kepada hakikat yang terakhir, yang berkesudahan (nihaiyah),
justru Allah itu Yang Maha Suci (Majhul al-Hawiyah) yang tak dapat diketahui
karena tiada siapapun yang menyerupai-Nya (Dan itulah sifat Zatiyah).
Allah berseru kepada hamba-Nya :
“Keluarlah engkau dari ilmumu yang kebalikannya adalah
kejahilan, keluarlah engkau dari makrifat yang kebalikannya adalah
pengingkaran... niscaya engkau akan jinak terhadap apa yang engkau ketahui,
Ilmu itu berseteru dengan kejahilan, dan kejahilan itu adalah huruf...
kejahilan itu menjadi seteru ilmu dalam kejahilannya terdapat huruf”.
Keluarlah engkau dari huruf, niscaya engkau mengetahui ilmu
yang tiada seterunya, yaitu Ilmu Rabbani (jika engkau sudah sampai ke taraf
ilmu ini), maka engkau akan menjahili suatu kejahilan yang tiada lagi berseteru
dengan kejahilan yang berupa pengetahuan. (Al Jahlul Irfani)”.
“Jika engkau telah mengetahui suatu ilmu yang tiada seteru,
dan jika engkau menjahili kejahilan yang tiada bersetru pula, maka engkau bukan
lagi tergolong dari penduduk bumi dan langit”.
“Jika engkau sudah bukan lagi menjadi penduduk bumi, maka
Aku tidak akan membebani engkau pekerjaan ahli bumi; Juga kalau engkau tidak
lagi menjadi peduduk langit, maka Akupun tidak lagi membebani engkau menjadi
pekerja ahli langit”.
Pekerjaan-pekerjaan ahi bumi adalah keserakahan dan
kerakusan, kelengahan dan menghambakan diri pada hawa nafsu dan kepada semua
yang nampak di permukaan bumi ini, yang saling kejar mengejar memperebutkan
aneka perhiasan. Sedangkan pekerjaan ahli langit adalah Zikir dan ta’dziem
(membesarkan Nama Tuhan) dan itulah penghambaan ahli langit terhadap Tuhan, dan
itulah yang menjadikan mereka jinak dengan ketenangan kepada Allah.
Dan penghambaan itu merupakan hijab yang terdekat, yang mana
Aku dari balik-Nya berhijab pula dengan sifat keperkasaan; dan kelengahan itu
pun suatu hijab yang jauh, yang mana Aku dari baliknya berhijab dengan semua
dan apa-apa yang telah Ku ciptakan dari segala sesuatu saling
pengaruh-mempengaruhi.