Menempelkan Mata Kaki dengan Mata Kaki
Oleh : Ustadz. Abdullah Al Jirani
Dalam kitabnya yang berjudul “Minhatul ‘Allam Syarh Bulughil Maram” (3/411) – lihat gambar terlampir -, Asy-Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- menjelaskan akan kesalahan pemahaman beberapa pihak tentang masalah menempelkan mata kaki dengan mata kaki ketika bershaf (berbaris) dalam salat.
Beliau –hafidzahullah- berkata : ”Adapun menempelkan mata kaki dengan mata kaki sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, (1) di dalamnya terdapat gangguan kepada orang lain, (2) kesibukkan dan menyibukkan orang lain, (3)menyibukkan orang lain dengan sesuatu yang TIDAK DISYARI’ATKAN, (4)memperbanyak gerakan, (5)sibuk untuk memperhatikan untuk mengisi tempat kosong setelah bangun dari sujud, (6)menyibukkan orang yang dekat dengan melekatkan kaki, (7)sebagaimana di dalamnya terdapat perluasan terhadap celah yang kosong, yang hal itu akan nampak jelas saat makmum bangkit dari sujud, (8)sebagaimana hal itu juga akan terambilnya sebagian tempat kaki orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.” – selesai penukilan - ( penomoran dari penerjemah untuk memudahkan mengidentifikasi ).
Beliau –hafidzahullah- juga berkata : “Tidak ada dalil untuk hal itu dalam ucapan Anas yang telah lalu : “Salah satu diantara kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” (Dan tidak ada dalil dalam) ucapan Nu’man bin Basyir –radhiallahu ‘anhu- : “Aku melihat seorang menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” Karena yang dimaksud dengan hal itu, -sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hafidz (Ibnu Hajar) adalah : al-mubalaghah (penekanan/anjuran yang kuat) dalam meluruskan dan medekatkan shaf serta menutup celah yang kosong. Karena melekatkan lutut dengan lutut perkara yang mustahil (tidak mungkin), melekatkan pundak dengan pundak perkara yang susah, demikian juga melekatkan mata kaki dengan mata kaki. Wallahu a’lam.” – selesai penukilan –
Komentarku :
Apakah Asy-Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan termasuk ulama salafy yang tsiqah (dapat dipercaya) dan diambil ilmunya ? Tentu saja. Ahli hadis kota Madinah, Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr –hafidzahullah- telah memuji dan merekomendasi kitab “Minhatul ‘Allam” dan pengarangnya. Hal ini sebagaimana telah dikabarkan oleh salah seorang teman yang kuliah di Universitas Islam Madinah yang sempat mendengar langsung di salah satu majelis beliau. Jadi, tidak perlu lagi untuk meragukan beliau dan kitab beliau.
Menempelkan mata kaki dengan mata kaki dalam bershaf untuk salat, merupakan salah satu kekeliruan dalam memahami hadis Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Besar kemungkinan, hal ini terjadi karena memahami dalil secara tektual, tanpa merujuk kepada penjelasan para ulama salaf selaku pihak yang berkompeten dalam masalah ini. Kekeliruan ini didasarkan kepada beberapa alasan, diantaranya :
1). Makna “ilzaq” (melekatkan) yang dimaukan dalam hadis, hanyalah “mubalaghah” (majaz hiperbola yang artinya : sebuah penekanan/anjuran kuat) untuk meluruskan dan merapatkan shaf, dan bukan makna hakikinya menempelkan mata kaki dengan mata kaki. Ini berdasarkan penafsiran Al-Hafidz Ibnu Hajar dan selain beliau dari para ulama salaf. Hampir tidak ada yang memahami makna hakikinya. Seandainya ada, hanya segelintir orang dari kurun muta’akhirin yang pendapatnya ghairu mu’tabar (tidak diperhitungkan). Selian menyelisihi hampir seluruh ulama’, juga tidak memiliki landasan dalil.
2). Kalau memang konsisten, tentunya tidak hanya mata kaki yang ditempelkan, tapi lutut juga harus ditempelkan dengan lutut. Karena hal ini juga telah datang hadisnya dalam sunan Abu Dawud dengan redaksi “lutut dengan lutut”. Tapi faktanya tidak. Sehingga mau tidak mau, harus sepakat bahwa memang yang dimaksud kata “ilzaq” (menempel) bukanlah makna hakiki, akan tetapi makna majazi, yaitu “penekanan/anjuran kuat”. Fakta di lapangan saat ini pun, semakin banyak kawan-kawan yang hanya menempelkan ujung jari kaki dengan ujung jari kaki temannya, tidak lagi antara mata kaki dengan mata kaki. Ini semakin tidak konsisten.
3). Para ulama salafy mu’ashirin (saat ini), juga telah menjelaskan bahwa yang dimaksud “ilzaq” di sini adalah bentuk “mubalaghah” saja, bukan maknanya yang hakiki. Diantara mereka, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah-, Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid –rahimahullah-, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah-, dan Asy-Syaikh Abdullah Al-Fauzan (pengaran kitab Minhatul ‘Allam).
4). Amalan atau praktek pada ulama salafy di zaman ini juga tidak menempelkan mata kaki dengan mata kaki. Diantara mereka Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah-, Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid –rahimahullah-, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah-. Bahkan saya sendiri pernah melihat Asy-Syaikh Sa’ad bin Abdullah Asy-Syatsri –hafidzahullah- dan para ulama lain yang bersama dengan beliau juga tidak menempelkan mata kaki mereka dengan mata kaki orang lain saat melaksanakan salat terawih. Dan hal ini juga tidak dilakukan oleh para masyaikh Madinah yang sempat kami ketahui saat umrah kemarin.
Demikian ulasan kali ini. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita sekalian. Barakallahu fiikum jami’an.
Artikel Sebelumnya tentang menempelkan ujung jari kaki;