SIMBOL SEGITIGA DI MASJID DAN HUKUM SALAT DI DALAMNYA
Oleh : Abdullah Al Jirani
Dulu, saya pernah kedatangan tamu dari Padang, Sumatra. Waktu tiba waktu salat Ashar, saya ajak para tamu tersebut untuk salat di salah satu masjid milik komunitas tertentu. Saat masuk masjid, tamu saya heran. Beliau tanya : “Apakah ini masjid, ustadz. Kok tidak ada mihrabnya ? kayak rumah saja”. Saya jawab : “Iya, pak. Ini masjid.” Selain tidak ada mihrabnya, juga tidak ada kubah, menara, atau ciri-ciri khas masjid di Indonesia. Lebih tepat disebut rumah atau aula.
Saya sengaja tidak menjelaskan lebih lanjut kenapa masjid tersebut tidak ada mihrabnya. Walaupun sebenarnya saya tahu karena mereka mengikuti pendapat syaikh Al-Albani –rahimahullah- yang menyatakan bahwa mihrab hukumnya bid’ah. Bagi saya, pendapat beliau ini marjuh (lemah), dan saya telah menyusun artikel yang menunjukkan akan kelemahannya. Saya menduga, seandainya saya jelaskan pun, beliau tidak bisa memahami. Maka saya urungkan. Saya hanya berusaha menyakinkan beliau agar sudi salat di masjid tersebut.
Memang wajar beliau tanya seperti itu. Karena di masyarakat kita, yang namanya masjid mesti ada ciri-ciri khasnya, seperti mihrab sebagai tempat imam sekaligus sebagai tanda arah kiblat, kubah, menara, serta desain-desain yang menunjukkan ciri khas masjid seperti lekungan yang biasa ada di jendela ataupun pintu masjid. Sehingga saat ada orang lewat atau mampir, langsung bisa menerka bahwa tempat ini masjid, walaupun tidak ada plang nama mesjidnya.
Kisah di atas bisa kita ambil pelajaran, jika kita ingin membangun masjid di Indonesia, hendaknya memperhatikan tradisi atau urf desain masjid yang telah berlaku. Memang benar, desain masjid hukum asalnya boleh saja, karena termasuk urusan dunia. Namun, sesuatu yang mubah tapi akan menjadi sebab salah paham, atau kegaduhan, atau fitnah di masyarakat sekitar, berubah menjadi perkara yang dilarang (bisa makruh dan bisa haram tergantung berat tidaknya resiko yang akan muncul).
Jadi, mari membangun masjid dengan bentuk yang sewajarnya saja sesuai dengan tradisi/urf setempat, mudah dikenali, serta tidak berpotensi menimbulkan salah paham atau kegaduhan. Ada kubahnya, mihrabnya, simbol-simbol masjid, kalau perlu dikasih menara. Saat orang melihat pertama kali, mereka akan langsung tahu kalau ini masjid. Simple bukan !
Imam Ibnu Aqil Al-Hambali –rahimahullah- berkata :
لاَ يَنْبَغِيْ الخُرُوْجُ مِنْ عَادَةِ النَّاسِ
“Tidak seyogyanya untuk keluar dari adat manusia setempat.”
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang kita untuk mengenakan pakaian “syuhrah” (ketenaran) atau tampil beda dari pakaian yang dikenakan oleh masyarakat kita. Telah datang sebuah riwayat dari sahabat Abdullah bin Umar –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
«مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ» زَادَ عَنْ أَبِي عَوَانَةَ «ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ»
“Barang siapa yang memakai pakaian ketenaran (tampil beda), Allah akan pakaikan untuknya semisal itu nanti di hari Kiamat.” Beliau menambahkan dari Abu ‘Awanah : “Lalu api dinyalakan di dalamnya.”[H.R. Abu Dawud : 4029. Hadits ini hasan].
Disebutkan dalam “Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah” (6/136) :
لُبْسُ الأَلْبِسَةِ الَّتِي تُخَالِفُ عَادَاتِ النَّاسِ مَكْرُوهٌ لِمَا فِيهِ مِنْ شُهْرَةٍ، أَيْ مَا يَشْتَهِرُ بِهِ عِنْدَ النَّاسِ وَيُشَارُ إِلَيْهِ بِالأْصَابِعِ، لِئَلاَّ يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا إِلَى حَمْلِهِمْ عَلَى غِيبَتِهِ، فَيُشَارِكَهُمْ فِي إِثْمِ الْغِيبَةِ.
“Memakai berbagai pakaian yang menyelisihi adat manusia (di tempat seorang tinggal), hukumnya makruh (dibenci), karena di dalamnya terdapat syuhrah (tampil beda/ketenaran), artinya tampil benda/kelihatan menyolok di sisi manusia dan jari-jari (manusia) akan mengisyaratkan kepadanya (menunjuknya). Hal itu agar tidak menjadi sebab yang akan membawa mereka untuk mengunjingnya, lalu dia berserikat dengan mereka dalam dosa mengunjing.” –selesai-
Jika kita dilarang menyelisihi pakaian penduduk negeri dimana kita tinggal, maka secara tidak langsung kita juga dilarang membangun masjid yang desainnya menyelisihi masjid-masjid yang ada di negeri kita. karena hal ini akan berpotensi menimbulkan berbagai macam masalah.
Lalu bagaimana hukum salat di masjid yang desainnya dianggap aneh (karena menyelisihi desain keumuman masjid yang ada) atau karena di sana ada simbol-simbol yang dianggap orang sebagai simbol Dajjal seperti segitiga ? kita jawab, bahwa salat di dalamnya sah, karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan akan kebatilannya. Sepanjang salat tersebut terpenuhi syarat dan rukunnya, maka sah. Barang siapa yang menyatakan salat di dalamnya tidak sah, atau bahkan sampai tingkat mengkafirkan orang yang salat di dalamnya, maka dituntut untuk mendatangkan keterangan. Dan kami yakin, dia tidak akan mampu untuk mendatangkan keterangan (dalil ) yang mendukung pendapatnya. Karena memang tidak dalil dalam hal itu.
Paling tingginya, hukumnya hanya makruh. Itupun jika terbukti itu merupakan simbol Dajjal. Namun menurut hemat kami, menganggap segala segitiga merupakan simbol Dajjal, merupakan ketergesaan yang tidak dilandaskan kepada argument yang ilmiyyah. Khawatir hanya mengandalkan ilmu cocoklogi, alias dicocok-cocokkan saja. Kalau sekedar cocoklogi, kandang ayam bisa jadi simbol Dajjal. Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H) berkata dalam “Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab” (3/215) :
يُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ وَبَيْنَ يَدَيْهِ رَجُلٌ أَوْ امْرَأَةٌ يَسْتَقْبِلُهُ وَيَرَاهُ وَقَدْ كَرِهَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَلِأَنَّهُ يَشْغَلُ الْقَلْبَ غَالِبًا فَكُرِهَ كَمَا كُرِهَ النَّظَرُ إلَى مَا يُلْهِيهِ كَثَوْبٍ لَهُ أَعْلَامٌ وَرَفْعُ الْبَصَرِ إلَى السَّمَاءِ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِمَّا ثَبَتَتْ فِيهِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ
“Dimakruhkan seorang salat dan di depannya ada seorang laki-laki atau wanita yang dia menghadap dan melihatnya. Hal ini telah dimakruhkan oleh Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan – semoga Allah meridhai keduanya -. Karena secara umum, hal ini akan menyibukkan pikirannya, sebagaimana dimakruhkan untuk melihat kepada apa yang akan melalaikannya seperti baju yang ada gambar-gambar/lukisan-lukisannya, melihat ke langit, dan selain dari pada itu (berdasarkan keterangan) dari berbagai hadis sahih yang telah valid di dalamnya.”
Oleh karena itu, hendaknya seorang da’i lebih hati-hati dalam mengeluarkan berbagai fatwa. Jangan sampai fatwa didasari oleh kebodohan. Ini perbuatan yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Apalagi kalau dia dijadikan rujukan oleh umat. Kalau memang tidak tahu, hendaknya diam dan jujur untuk mengatakan “saya tidak tahu”. Ketenaran seseorang tidak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai rujukan umat. Menjadi rujukan umat, haruslah orang-orang yang benar-benar berilmu dengan ilmu yang sahih serta memiliki argument dan referensi ilmiyyah yang bisa dipertanggungjawabkan. “Belajarlah terlebih dahulu sebelum menjadi da’i, jangan sampai jadi da’i dulu baru kemudian belajar.”