Ilustrasi; Abu Janda dan Denny Siregar |
Baru-baru ini ada istilah baru yang ramai di medsos, yaitu TOGOG. Istilah ini adalah tranformasi dari istilah cebong. Cebong adalah sebutan untuk pendukung Jokowi di medsos dan sekarang warganet sudah mengupdatenya menjadi togog.
Pertama kali membaca istilah ini di medsos, kita dibuat bingung, "istilah apalagi ini?" Ternyata kata togog ini umumnya di sematkan oleh warganet kepada orang-orang yang dulu mereka sebut sebagai cebong. Lalu apa sebenarnya arti atau makna dari kata togog ini kok tega-teganya netizen menyematkannya kepada para pendukung Jokowi?
Dalam kultur Jawa, utamanya wayang purwa, ada tokoh ponokawan yang bernama Togog. Tokoh Togog ini mudah dikenali karena ada ciri khusus yang melekat pada organ biologisnya yaitu dengan mulut besar (melewati batas kewajaran mulut yang normal). Sebenarnya, nenek moyang dahulu telah memberi peringatan kepada anak cucu (generasi penerus) dengan simbol seperti Togog. Karena itu, Togog dapat dijadikan cermin kehidupan manusia zaman dahulu, sekarang, dan masa depan.
Tokoh ini sebagai pengasuh atau pengawal kesatria yang berkarakter jahat. Oleh karena itu, Togog selalu memberikan kritik dan saran kepada tuannnya untuk meniti jalan yang benar.
Pada umumnya, tokoh yang berkarakter jahat tidak punya hati (perasaan), tidak punya nurani, karena nurani telah mati, penglihatan telah buta, dan pendengaran menjadi tuli. Sementara yang ada dalam hati kesatria yang jahat adalah nafsu untuk berkuasa (politik) dan nafsu menguasai harta kekayaan (ekonomi-kapitalis). Untuk meraih kekuasaan dan sumber ekonomi ditempuh dengan berbagai jalan yang licik dan mengabaikan faktor moral etik. Akibatnya, dalam masyarakat akan terjadi chaos (kacau) banyak perbuatan makar, kenakalan, korupsi, narkotika, kekrasan, penipuan, pembalakan hutan, dan sebagainya. Hal itu disebabkan oleh watak (karakter) tamak, rakus terhadap kekuasaan dan materi, seolah-olah jagat mau diemperi (dunia akan diberi teras).
Karakter yang tidak puas secara politik dan secara ekonomi itulah yang digambarkan seperti Togog yang mempunyai mulut besar untuk menelan jagat (bumi) ini. Ketika Togog terlalu bernafsu menelan jagat seisinya, dia tidak sadar bahwa perilakunya itu adalah perilaku yang tidak wajar dan merugikan banyak orang.
Dengan mengingat tokoh pewayangan yang bernama Togog, ada kemiripan dengan istilah “Thugocracy” yang dipakai oleh Emmanual Subangun (Kompas, 27 Februari, 2010) untuk mendeskripsikan sebuah demokarasi yang bergerak menjadi premanisme, karena di dalam praktik demokrasi meng abaikan moral, etika, dan kesantunan.
Nama tokoh Togog dalam pewayangan Jawa yang sudah berabad-abad lamanya, ada paralenyal dengan kosa kata thogho dalam bahasa Arab. Hal ini terekam dalam azhab ila fir ‘auna innahu thogho; faammaa man thogho (QS, 79: 17, 37). Arti kata thogho adalah melampaui batas. Dalam kitab suci tersebut untuk mendeskripsikan Raja Firaun dan pengikutnya yang memiliki watak jahat suka melampaui batas (thogho).
Dengan demikian, tokoh Togog dalam seni tradsi pewayangan Jawa terdapat cermin atau sebagai kaca brenggala setiap manusia agar perilakunya senantiasa berhati-hati tidak tamak, tidak rakus terhadap kekuasaan dan materi yang dapat berdampak negatif kepada bangsa dan negara. Jika sedang berkuasa jangan sampai berpaling ke arah thugocracy dan thogho (melampaui batas). Jangan sampai di antara kita ada yang menjadi Togog. (Tubiyono)